Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan para korban kasus kekerasan seksual yang dilakukan tersangka LMI (43) dan HSN (50), pimpinan pondok pesantren di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
"Kami akan terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang sedang dilakukan oleh Dinsos PPPA bersama UPTD PPA Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur, LBH Apik, serta lembaga pendamping korban," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Pimpinan ponpes tersangka kekerasan seksual didorong dihukum maksimal
Nahar berharap polisi dapat terus mendalami dan mengembangkan kasus ini, termasuk membuka layanan pengaduan bersama untuk mengantisipasi kemungkinan ada korban lainnya yang belum berani melapor karena berbagai alasan.
LMI dan HSN diduga melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023 dan tiga korban diantaranya membuat laporan polisi.
Saat ini, LMI dan HSN ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.
Hukuman maksimal yang menanti tersangka dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
KemenPPPA berharap penegakan hukum kasus ini juga menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dimana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi sebagai korban kekerasan seksual.
Baca juga: Polda NTB minta warga tenang terkait peristiwa di Ponpes As-Sunah
Baca juga: Pengasuh ponpes pelaku kekerasan seksual didorong dihukum maksimal
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023