Hal ini merupakan respons terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam) Mahfud MD yang mengatakan bahwa kecurangan di setiap pemilu pasti terjadi, baik yang sudah lalu atau yang akan datang.
"Kalau itu kan dari waktu ke waktu kami lakukan ya, misalkan Pemilu 2019, KPU membuat situng dan nanti akan kami ubah menjadi sistem informasi rekapitulasi hasil suara yang sudah kami praktikkan di Pilkada 2020 dan nanti kami akan adopsi di Pemilu 2024," ungkap Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu.
Situng adalah pengembangan dalam scan C1 yang diterapkan pertama pada Pemilu 2014, yaitu petugas di TPS men-"scan" C1 dan di-"upload" ke website KPU untuk dipublikasikan dalam tabulasi.
"KPU juga melakukan verifikasi, apakah hitungannya sudah benar atau tidak. Kalau ada tuduhan, 'Hitungannya enggak bener, kok dipublikasi?' Memang kami publikasikan apa adanya. Kalau memang salah, supaya publik juga tahu bahwa ada hitungan yang salah," kata dia.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa hitungan yang salah ini diketahui KPU Pusat. Lalu, mereka akan mengirimkan kembali hasilnya ke KPU kabupaten/kota dari mana formulir C1 dari TPS itu berasal untuk dikoreksi.
Tidak hanya itu, katanya, KPU mempersilakan siapa pun untuk melihat, mengambil foto, atau merekam proses penghitungan suara di TPS yang digelar terbuka. Nantinya, di sana akan ditugaskan saksi dari peserta pemilu hingga panitia pengawas setiap TPS.
"Jadi itu dilakukan secara terbuka. Kalau ada tuduhan ada manipulasi, itu pasti diketahui banyak orang," tutur Hasyim.
Apabila ada komplain, misalnya di tingkat kabupaten, pihaknya akan melakukan koreksi berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yaitu memeriksa hasil satu tingkat di bawahnya. Ia akan melarang KPU kabupaten/kota dan KPU RI membawa komplain soal rekapitulasi langsung ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"KPU membuat kebijakan melarang KPU kabupaten/kota, KPU provinsi ketika rekapitulasi ada komplain keberatan. Kemudian mengatakan kalau 'Anda tidak puas bawa ke MK'. Kami larang," imbuhnya.
Sebab, paparnya, hal tersebut masih berada pada ruang lingkup dan tanggung jawab KPU. Untuk itu, tidak boleh dilemparkan masalah ini ke lembaga lain.
Baca juga: KPU RI wajibkan caleg lapor LHKPN usai terpilih
Baca juga: KPU RI tanggapi tak adanya wakil perempuan pada KPU lima provinsi
Sebelumnya, pada Selasa (23/5) Mahfud MD menyebutkan bahwa kecurangan memang terjadi dalam lima kali penyelenggaraan pemilu terakhir.
"Karena sudah lima kali pemilu kita tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 curang terus. Tetapi beda saudara yang curang sekarang itu adalah peserta pemilu sendiri, bukan pemerintah," kata Mahfud.
Mahfud menegaskan hal itu jauh berbeda apabila dibandingkan semasa Orde Baru berkuasa, di mana sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu sering diatur siapa pemenangnya dan partai apa mendapat berapa banyak suara.
"Kalau dulu zaman Orde Baru itu ndak bisa dibantah, yang curang pemerintah terhadap rakyat. Pokoknya yang menang harus Golkar, pemilu besok yang Golkar dapat sekian, PPP sekian, PDI sekian, sudah diatur. Itu bukan berita bohong, memang iya," ujarnya.
Sementara dalam lima kali pemilu terakhir, Mahfud menyebut kecurangan terjadi antara rakyat dengan rakyat dan dilakukan peserta pemilu.
Mahfud mencontohkan modus kecurangan yang terjadi adalah peserta pemilu membayar orang tertentu di tempat pemungutan suara (TPS) untuk memalsukan hasil pemungutan suara yang diserahkan ke kelurahan, kecamatan dan seterusnya.
Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2003 secara resmi membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya adalah menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.
Mahfud bahkan mengaku sudah sempat berpesan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk bersiap-siap menghadapi gugatan kecurangan pemilu.
Ia menitipkan pesan agar segenap pihak terus memperkuat literasi politik maupun media untuk menjaga Pemilu 2024 agar lebih demokratis.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023