Jakarta (ANTARA) - Pada dekade 1920-an, atau sekitar satu abad yang lalu, masyarakat China ketika itu mulai menerapkan istilah "perjanjian ketidakadilan" bagi berbagai perjanjian yang ditetapkan sejumlah negara Barat pada era kolonial.
Contoh dari "perjanjian ketidakadilan" menurut masyarakat China, mulai dari Perjanjian Nanking pada 1842 yang mengakhiri Perang Candu Pertama antara China dan Inggris Raya.
Kemudian ada pula Perjanjian Wanghia (1844), Perjanjian Whampoa (1844), Perjanjian Canton (1847), Perjanjian Kulja (1851), Perjanjian Tientsin (1858), dan banyak perjanjian lain setelahnya.
Pakar sinologi Immanuel Hsu (1923-2005), dalam buku "The Rise of Modern China" (1970) menyebutkan bahwa berbagai perjanjian tersebut disebut tidak adil karena proses perundingannya tidak menganggap China sebagai negara yang setara.
Hsu yang pernah menjabat sebagai profesor sejarah di University of California at Santa Barbara, Amerika Serikat, itu menyatakan bahwa berbagai perjanjian tersebut merupakan beban bagi China setelah kalah dalam perang, dan isi perjanjian dilihat sebagai bentuk melanggar hak kedaulatan China.
Ketegangan dari berbagai hasil perjanjian yang "dipaksakan" pihak Barat itu cukup mengusik nasionalisme China saat itu.
Pada saat ini, atau tepatnya tahun 2023, nasionalisme China juga kembali terusik, bukan oleh perjanjian dengan negara-negara Barat, tetapi dengan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok Tujuh (KTT G7) yang baru saja berlangsung di Hiroshima, Jepang.
KTT G7 yang berakhir pada Minggu (21/5) itu menghasilkan sejumlah pernyataan, antara lain adanya kebijakan yang dirancang bukan untuk decoupling (memutuskan hubungan), tetapi untuk melakukan de-risking (mengurangi risiko).
Diversifikasi ekonomi
Sebuah artikel dalam laman pemberitaan japantimes.co.jp pada 20 Mei 2023 mengemukakan, makna dari pernyataan tersebut adalah G7 sepakat untuk menerapkan kebijakan guna mendorong keamanan ekonomi dan memperkuat rantai pasok dalam rangka melakukan pendekatan guna mengurangi risiko dan mendiversifikasi terkait hubungan ekonomi mereka dengan Beijing dan Moskow.
Dalam pernyataan tersebut, para pemimpin G7 menahan diri untuk tidak menyebutkan secara gamblang negara China dan Rusia, meski berbagai langkah yang diumumkan diduga ditujukan untuk melakukan tindakan bersifat "koersif" terhadap kedua negara tersebut.
Pernyataan terkait "mengurangi risiko" dan menghindari untuk "memutuskan hubungan" itu juga masih dinilai agak abstrak dan belum terlalu kongkret.
Menurut analisis kantor berita Reuters, hal itu terindikasi, antara lain dari masih adanya nuansa perbedaan pandangan antara negara-negara G7, seperti Amerika Serikat, yang menyerukan adanya pengendalian dengan target tertentu terkait investasi ke China.
Namun, sejumlah negara lain, seperti Jerman, Prancis, dan Jepang, menginginkan langkah yang lebih hati-hati, mengingat dampak potensi yang dapat terjadi kepada kondisi perekonomian negara mereka sendiri.
Perbedaan itu mulai terlihat mencolok, antara lain seusai Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan lawatan dan bertemu Presiden China Xi Jinping pada April lalu.
Macron, seusai kunjungan ke Beijing tersebut menyatakan pentingnya bagi Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungan dengan Amerika Serikat.
Untuk itulah, hasil pernyataan yang dihasilkan oleh G7 juga lebih menonjolkan rasa pragmatisme, di mana setiap negara akan melakukannya sesuai kepentingan nasional mereka sendiri.
Seorang pejabat pemerintahan Jepang, yang berbicara secara anonim kepada Reuters, menyatakan bahwa terdapat sejumlah perbedaan di antara negara-negara G7 dalam sejumlah isu, seperti larangan investasi AS kepada China.
Tantangan terbesar
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Raya Rishi Sunak kepada wartawan setelah KTT G7 di Hiroshima, Jepang, Minggu (21/5), mengingatkan bahwa China merupakan tantangan terbesar dunia dalam hal keamanan dan kemakmuran.
Namun, Sunak mengingatkan bahwa negara ekonomi maju lainnya tidak boleh berusaha sepenuhnya memutus hubungan dengan China.
"China menimbulkan tantangan terbesar di zaman kita dalam hal keamanan dan kemakmuran global. Mereka semakin otoriter di dalam negeri dan tegas di luar negeri," kata Sunak, sebagaimana dikutip Reuters.
Untuk itu, ujar dia, Inggris dan negara G7 lainnya akan mengupayakan pendekatan bersama untuk mengurangi tantangan yang ditimbulkan China, karena semua ini adalah tentang menghilangkan risiko, bukan memutuskan hubungan.
Sedangkan pada Senin (22/5), juru bicara pemerintahan Jerman menyatakan bahwa reaksi pemerintah China terkait dengan hasil KTT G7 bahwa bahasa yang digunakan dalam pernyataan hasil G7 itu tidaklah terlalu lembek bagi China.
Dalam konferensi pers rutin di Berlin, juru bicara itu menyatakan bahwa Kanselir Olaf Scholz memuji pilihan kata hasil komunike G7 karena hal tersebut menunjukkan adanya nuansa.
Nuansa itu dapat terlihat dari reaksi keras yang ditunjukkan pemerintah China, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil G7 dapat diterjemahkan dalam beragam cara dan tidaklah terlalu lembek.
Seperti diberitakan kantor berita Xinhua, hasil KTT G7 membuat Wakil Menteri Luar Negeri China Sun Weidong memanggil Duta Besar (Dubes) Jepang untuk China Hideo Tarumi pada Minggu (21/5), serta menyampaikan pernyataan serius terkait KTT G7 Hiroshima yang menggembar-gemborkan isu terkait China.
Menurut Sun, sebagaimana dikutip Xinhua, sebagai ketua bergilir G7 tahun ini, Jepang bersekutu dengan negara-negara terkait untuk memfitnah dan menyerang China dalam serangkaian kegiatan dan Komunike para Pemimpin yang diadopsi pada KTT G7 di Hiroshima, yang sangat mencampuri urusan dalam negeri China, melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan semangat empat dokumen politik yang ditandatangani antara China dan Jepang, serta mengganggu kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan China.
Sun mendesak G7 untuk mengikuti tren zaman yang menampilkan keterbukaan dan inklusivitas, berhenti bersekutu dan membentuk blok eksklusif, berhenti mengekang negara lain, serta berhenti menciptakan dan memicu konfrontasi blok.
Sun meminta Jepang untuk memiliki pemahaman yang tepat terhadap China, menjalankan independensi strategis, mematuhi prinsip-prinsip empat dokumen politik antara China dan Jepang, serta mendukung pengembangan hubungan bilateral yang stabil dengan cara yang tulus dan konstruktif.
Kobarkan "histeria"
Senada dengan China, "kawan akrab" mereka, yaitu Rusia, juga menyebut bahwa KTT G7 di Hiroshima, Jepang, sebagai kegiatan politis yang mengeluarkan pernyataan anti-Rusia dan anti-China, serta merusak stabilitas global.
Dalam unggahan di Telegram, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia menyatakan bahwa G7 telah "melanggengkan kebusukan" dan bahwa forum tersebut menjadi "inkubator" inisiatif destruktif untuk merusak stabilitas dunia.
Pernyataan yang dikutip Reuters itu menuding G7 mengobarkan "histeria" anti-Rusia dan anti-China.
Rusia dahulu adalah bagian dari G7 --sebelumnya bernama G8-- hingga dikeluarkan dari kelompok itu karena mencaplok Krimea dari Ukraina pada 2014.
Dalam pernyataan yang sama, Kemlu Rusia menuduh G7 "merayu" negara-negara non-Barat dalam upaya menghambat hubungan mereka dengan Moskow dan Beijing.
Kemlu Rusia meyakini pula bahwa forum itu tidak dapat mewakili kepentingan kawasan Asia Pasifik, Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, atau Amerika Latin.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Minggu (21/5) mengisyaratkan bahwa pihaknya bakal berbicara dengan Presiden China dalam waktu dekat.
Biden dalam jumpa pers seusai KTT G7 di Hiroshima, Jepang, menyatakan bahwa negara-negara G7 tidak berusaha memutus hubungan dengan China, tetapi mencoba mengurangi risiko dan memperluas hubungan dengan China.
Biden berharap hubungan dengan China akan "segera membaik" setelah mengalami tegangan akibat insiden pada awal tahun ini ketika AS menembak jatuh balon China yang terbang di atas lokasi militer yang sensitif.
Dia mengaku telah bersepakat dengan Presiden China Xi Jinping selama pertemuan G20 di Bali tahun lalu untuk menjaga komunikasi tetap terbuka, tetapi semuanya berubah setelah insiden balon itu, yang disebutnya "membawa dua gerbong alat penyadap".
Meski demikian, Biden optimistis bahwa hubungan AS-China dalam waktu dekat akan segera mencair.
Terkait dengan ketegangan China-Taiwan, Biden mengatakan ada pemahaman yang jelas bahwa akan ada respons jika China bertindak sepihak terhadap Taiwan.
Biden menegaskan bahwa AS tidak akan mengatakan kepada China apa yang bisa mereka lakukan, tetapi pihaknya akan menempatkan Taiwan pada posisi untuk bisa membela diri mereka sendiri.
Berbagai bentuk kehati-hatian dan langkah yang tidak provokatif memang sangatlah penting pada saat ini, mengingat situasi yang sangat rentan meletup terkait dengan kondisi yang tengah memanas di sejumlah kawasan dunia.
Diharapkan agar setiap pemimpin dunia tetap mengutamakan perdamaian dalam menerapkan kebijakan apa pun yang mereka lakukan, karena adanya langkah yang sembrono sedikit saja pada saat ini dapat mudah berujung kepada ketidakstabilan global, seperti memantik api di tumpukan jerami kering.
Copyright © ANTARA 2023