Semarang (ANTARA) - Bumi di Dalam Diri: Tempo Doeloe, Kini, dan Masa Depan merupakan sebuah buku yang memotret keadaan lingkungan dari masa ke masa.
Buku dengan tebal xv + 172 halaman ini diterbitkan oleh PT Nas Media Indonesia pada bulan April 2023, bisa dikatakan, momen yang tepat karena buku bernomor ISBN 978-623-351-962-5 ini bisa menjadi salah satu referensi calon anggota legislatif (caleg) untuk berkampanye pada Pemilu 2024.
Perang gagasan atau ide antar-caleg dengan bertema lingkungan alam ini sangat penting mengingat kerusakan lingkungan hidup di Bumi ini membuat kehidupan manusia makin terancam. Rasa aman kian jauh karena sewaktu-waktu datang bencana alam.
Dalam bukunya, H. Hadi Santoso, S.T., M.Si. mengemukakan dua penyebab kerusakan alam ini, yakni faktor peristiwa alam dan ulah manusia, pada awal bab berjudul Potret Bumi.
Karya Hadi Santoso ini tampaknya tidak lepas dari aktivitasnya sebagai Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah. Komisi ini membidangi bina marga, cipta karya, permukiman dan tata ruang, perumahan rakyat, pengelolaan sumber daya air, perhubungan, pertambangan, energi dan sumber daya mineral, serta lingkungan hidup.
Buku ini lebih banyak potret mengenai keadaan alam di Jawa Tengah. Apalagi, kawasan rawan bencana di suatu wilayah tidak lepas dari kondisi geologis, topografis, klimatologis, hidrologis, dan geografis.
Tidak pelak lagi, wilayah Jawa Tengah juga memiliki risiko bencana alam yang cukup tinggi seperti banjir, tsunami, abrasi, dan longsor. Selain itu, kekeringan, letusan gunung berapi, gempa Bumi, gelombang pasang, angin topan, dan rawan gas beracun.
Buku ini juga memberikan solusi dengan penekanan kearifan lokal. Hadi Santoso mencontohkan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, misalnya, arsitektur Rumah Gadang di Sumatera Barat. Bangunan ini dibuat sedemikian rupa tanpa menggunakan paku untuk meminimalisasi dampak gempa bumi.
Suku Badui juga mempertahankan kearifan lokalnya dalam menghadapi gempa bumi, yaitu dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah. Bahan bangunan itu menggunakan bahan-bahan yang lentur seperti bambu, ijuk, dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak.
Rumah juga tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah. Hal ini dilakukan supaya rumah tidak mudah roboh sehingga lingkungan Suku Badui jarang mengalami kerusakan. Dalam pembuatannya, rumah tidak boleh menggunakan paku dan hanya menggunakan sasak dan tali ijuk (Suparmini dkk., 2014).
Semua kearifan lokal untuk mitigasi bencana gempa tersebut merupakan khazanah bagi bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Kesiapsiagaan masyarakat adalah kunci dalam menghadapi bencana, dan kesiapsiagaan itu biasanya terbentuk dari perilaku yang telah dijaga secara turun-temurun.
Sistem sanitasi
Buku ini juga menyoroti zona kuning atau kawasan khusus untuk perumahan. Saat menjalankan tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat, Hadi Santoso memandang perlu ada penekanan terhadap developer (pengembang) ketika akan membangun perumahan. Pengembang perumahan ini perlu memperhatikan pula sistem sanitasi.
Idealnya sebuah tempat tinggal memiliki pelengkapan sanitasi berupa alat penerima air buangan, terdiri atas kamar mandi, jamban atau water closet (WC), bak dapur, tempat cuci, dan talang air hujan.
Selain itu, saluran pembuangan seperti dari pipa tanah atau pipa beton, dan tempat pembuangan seperti jaringan saluran pembuangan air kotor (riol) kota, sungai, atau peresapan buatan.
Di lain pihak, Pemerintah lebih menggalakkan industri ramah lingkungan atau industri hijau. Pengembangan industri hijau ini sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa industri hijau adalah industri yang dalam produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Dengan demikian, mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Seperti diketahui bahwa instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara komunal dapat digunakan untuk pengelolaan limbah cair di permukiman padat penduduk, kumuh, dan rawan sanitasi.
Berdasarkan hasil kunjungan kerja penulis buku ini di sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, ia menyimpulkan bahwa setiap rumah terdapat sistem sanitasi yang baik maka tidak memerlukan atau setidaknya mengurangi pembuatan IPAL.
Dengan demikian, akan menghemat biaya pembuatan IPAL yang mencapai puluhan juta rupiah. Belum lagi, untuk biaya pengoperasiannya jutaan rupiah. Di sinilah perlunya kembali ke alam (back to nature).
Kendati demikian, perlu disadari bahwa pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan alam tidak hanya dibebankan di punggung pemerintah, tetapi semua pihak ikut berkontribusi, termasuk kalangan pengusaha, karyawan, dan masyarakat umum, termasuk generasi milenial di dalamnya.
Hal ini mengingat pemerintah tidak bisa secara mandiri mengatasi dan mencegah dan memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa dukungan dari seluruh masyarakat. Di sinilah perlu menghidupkan kembali kearifan lokal di tengah-tengah masyarakat yang terbingkai dalam peraturan desa (perdes) yang mengatur kelestarian lingkungan alam.
Buku ini mengajak semua pihak untuk berupaya merawat dan memelihara bumi secara simultan. Ada satu tarikan napas dan gerak dalam penyelamatan bumi. Semua punya peran penting dalam mendukung langkah-langkah strategis dan berkesinambungan yang termaktub dalam kemasan Perdes Lingkungan Hidup yang notabene tempat bersemayam kearifan lokal.
Di sinilah pentingnya kesinergisan pembangunan dan kearifan lokal sebagai upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Jangan sampai masyarakat terkesan menjadi penonton ketika di wilayahnya ada program, misalnya penanaman pohon, penanaman mangrove (hutan bakau), pembuatan folder, atau program pembuatan sumur resapan.
Jika hal ini terjadi, bisa dikatakan bahwa program pemerintah terkait dengan penyelamatan lingkungan belum mampu mendorong masyarakat untuk berbuat. Ibarat program selamatkan bumi yang tidak membumi.
Pandangan kritis
Dalam Kata Pengantar, dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Sudharto P. Hadi, M.E.S., Ph.D. menyampaikan apresiasi atas penulisan buku karya Hadi Santoso, yang banyak memberikan pandangan kritis tentang lingkungan hidup, khususnya di Jawa Tengah, sesuai dengan cakupan tugas penulis.
Prof. Sudharto menilai Hadi Santoso adalah politikus yang gigih memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Politisi yang menulis buku tentang biografinya (atau dituliskan orang lain) sudah banyak. Namun, yang menulis pengembaraan tugasnya dengan sistematis rasanya masih bisa dihitung dengan jari.
Menilik judulnya, buku ini merupakan bentuk refleksi tentang hubungan manusia dengan lingkungan yang saat ini berada pada situasi tidak harmonis.
Orientasi dan implementasi pembangunan yang masih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan fisik, tetapi menegasikan aspek kelestarian lingkungan dan keadilan sosial.
Implikasinya adalah bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Banjir tahunan yang makin luas dan besar intensitasnya menjadi indikasi bahwa penyebab banjir bukan semata-mata curah hujan, melainkan merosotnya daya dukung lingkungan.
Buku ini, kata Prof. Sudharto, menjadikan tiga masalah krusial tersebut sebagai topik bahasan dan memetakannya dengan baik disertai dengan usulan penanggulanganya melalui pendekatan perilaku.
Pendekatan perilaku menjadi penting mengingat perilaku sebagian besar warga masyarakat masih cuek pada kelestarian lingkungan.
Meskipun gerakan peduli lingkungan juga tumbuh subur, bahkan di kalangan generasi milenial. Sama halnya dengan kebijakan di hulu, mulai dari GBHN, Propenas, RPJP, dan RPJM menetapkan bahwa pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan yang menyelaraskan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial menjadi prinsip dasar. Kendati demikian, dalam implementasinya, aspek ekonomi masih menjadi prioritas yang eksklusif.
Salah satu modal dalam membangun lingkungan lebih baik adalah kearifan lingkungan yang dahulu menjadi pedoman bertindak dan bertingkah laku dalam hubungan manusia dengan lingkungan.
Hampir semua etnis di negeri ini memiliki kearifan lingkungan. Petani Jawa dengan nyabuk gunung, petani Sunda dengan ngais gunung. Kearifan tersebut mengajarkan petani yang bercocok tanam di lahan dengan kemiringan tertentu harus disertai dengan menanam tanaman keras yang mengelilingi lahannya sebagai sabuk untuk mencegah erosi.
Bentuk kearifan lain semuanya ditujukan untuk kelestarian seperti sistem sasi bagi nelayan di Maluku dan Papua, tradisi pikukuh warga Badui, dan tradisi karuhun kampung Suku Naga Tasik Malaya, tradisi zoning Suku Tabla di Papua.
Namun, sayang sekali kearifan-kearifan tersebut telah pudar seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan manusia yang terus meningkat, dan perkembangan teknologi.
Kearifan lingkungan sebagai bentuk pengakuan manusia bahwa dia merupakan bagian dari alam berganti menjadi sikap manusia yang merasa berkuasa atas alam (antroposentris).
Sikap ini memandu manusia berpikir jangka pendek, bertindak rakus, dan eksploitatif. Di tengah-tengah banyaknya bencana lingkungan akibat pola antroposentris, banyak orang merindukan masa lalu yang romantis sebagaimana diuraikan oleh Hadi Santoso, sebagian warga masyarakat masih menyelenggarakan upacara bersih desa, merti dusun, dan sedekah laut.
Rasanya memang tidak mungkin kembali ke masa lalu karena perkembangan teknologi, jumlah penduduk, dan kebutuhan. Akan tetapi, yang bisa manusia lakukan adalah merevitalisasi spirit kearifan dalam konteks sekarang.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023