Jakarta (ANTARA) - Pakar dari dua perguruan tinggi di Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Sebelas Maret (UNS) memaparkan strategi percepatan kendaraan listrik di Indonesia yang dinilai penting untuk membantu target pemerintah menurunkan Net Zero Emission 2060.

Penurunan emisi karbon melalui National Determined Contribution (NDC) yang dilakukan Indonesia dinilai penting untuk mendukung perubahan iklim dan pemanasan global.

"Indonesia sebenarnya paling bahaya terhadap dampak perubahan iklim, karena merupakan negara kepulauan," kata Ketua Laboratorium Konversi Energi Elektrik ITB Dr Ir Agus Purwadi MT dalam diskusi terbatas, di Jakarta, Ahad.

Penyumbang emisi karbon terbesar antara lain energi, transportasi dan industri, sehingga penurunan emisi karbon terhadap kendaraan yang terkait dengan ketiga komponen tersebut sangat penting.

Baca juga: Menteri BUMN: BUMN hadir untuk mempercepat penetrasi EV di Indonesia

Baca juga: Dirjen Ketenagalistrikan tekankan kolaborasi untuk akselerasi program

"Dari well to Whell (sumber ke roda) kendaraan bisa berkontribusi terhadap karbon. Kendaraan listrik (electric vehicle/EV) bisa nol (emisi karbonnya), kalau pembangkit listrik hingga proses produksinya juga green," kata Agus.

Oleh karena itu ia mengatakan untuk mempercepat kendaraan listrik di Indonesia, salah satu yang harus dilakukan adalah adopsi secara alami kendaraan listrik seperti peralihan kendaraan konvensional (Internal Combustion Engine/ICE) dengan transmisi manual (MT) ke matik (AT).

Selain itu, kata Agus, buat program LCGC (Low Cost and Green Car) seperti yang dilakukan pemerintah pada 2013, namun kali ini untuk EV. Program LCGC, menurutnya, terbukti mampu mendongkrak minat masyarakat membeli mobil, sehingga penjualan mobil naik.

Kemudian, kata dia, perkuat R&D khusus baterai untuk kendaraan listrik Indonesia, mengingat baterai EV yang dikembangkan saat ini umumnya untuk negara dengan empat musim.

"Apapun merek kendaraan listrik di Indonesia, untuk membangun ekosistem yang lebih kompetitif, baterainya sebaiknya dibuat di Indonesia," ujar Agus.

Pakar PUI-PT Teknologi Penyimpanan Energi Listrik UNS Prof Ir Muhammad Nizam ST MT PhD menambahkan baterai adalah jantungnya kendaraan listrik dan pertumbuhan teknologi baterai di dunia berkembang sangat cepat, karena itu Indonesia perlu menguasai teknologi baterai terkini dan masa depan.

"Baterai litium ion adalah bahan bakar masa depan EV," ujarnya. Oleh karena itu, meskipun Indonesia memiliki bahan baku baterai di Indonesia seperti Nikel, Kobalt, dan Mangan, namun penguasaan sumber litium juga penting. Sumber bahan baku litium yang bagus, menurutnya, ada di Australia.

Selain itu yang tak kalah penting yang perlu diperhatikan, menurut Prof. Nizam, adalah masa pakai baterai dan daur ulang baterai bekas untuk memastikan aspek ramah lingkungan dalam pengembangan EV.

Sementara itu Presdir PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono menegaskan komitmen Toyota di Indonesia untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas buang kendaraan.

Salah satunya dengan menghadirkan kendaraan multi pathway mulai dari kendaraan ICE yang lebih rendah emisi, kendaraan hibrida, hingga BEV. Terakhir pekan ini Toyota Indonesia meluncurkan kendaraan hibrida Yaris Cross yang hanya menghasilkan emisi karbon kurang dari 90 gram/km (from well to wheel).*

Baca juga: Album Asia: Melongok ajang pameran kendaraan listrik di Jakarta

Baca juga: PT PLN: masyarakat beli EV, urusan listrik serahkan kepada kami

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023