Meski terlihat membosankan, tim Italia seperti memberikan tamparan pada sepak bola modern bahwa dalam sepak bola tidak melulu mengenai skema menyerang dan penguasaan bola
Pesepak bola Inter Milan Henrikh Mkhitaryan merayakan gol ke gawang AC Milan dalam laga leg pertama semi final Liga Champions di San Siro, Milan, Italia, Rabu (10/5/2023). Inter selaku tamu memenangkan laga tersebut dengan skor 2-0. ANTARA FOTO/REUTERS/Alessandro Garofalo/foc.

Mulai menggigit

Tim-tim Italia memang kalah dalam segi finansial, manajemen dan kedalaman skuad jika dibandingkan dengan kompetitor-kompetitor mereka dari Premier League, LaLiga maupun Bundesliga.

Akan tetapi, tim-tim Italia setidaknya sudah melakukan kebijakan transfer yang mulai menuai hasil di kompetisi Eropa saat ini. Kebanyakan klub Italia kini meramu kedalaman tim dengan mengkombinasikan pemain muda dan pemain berpengalaman.

Sebut saja AS Roma yang musim ini mendatangkan pemain pengalaman seperti Paulo Dybala, Nemanja Matic dan Giorgino Wijnaldum yang dipadukan dengan pemain muda semacam Nicola Zalewski dan Edoardo Bove.

Juga Inter Milan yang telah lebih dulu menuai hasil dari kebijakan transfer itu dengan menjuarai Serie A musim 2021. Inter memiliki komposisi pemain pengalaman macam Milan Skriniar, Romelu Lukaku yang disandingkan dengan Nicola Barella dan Andrea Bastoni.

Berbeda dengan klub Premier League dan LaLiga yang berani membayar triliunan Rupiah untuk menebus satu pemain, klub Italia justru menerapkan pola peminjaman pemain yang dicoba untuk satu atau dua musim lalu diberi kontrak permanen apabila dalam masa itu sang pemain dapat nyetel dengan tim.

Dari segi taktikal di dalam lapangan, tim-tim besar Eropa lebih bermain dengan gaya modern dengan menerapkan permainan pressing tinggi dan penguasaan bola, tim Italia justru menjadi "kryptonite" dari sepak bola modern.

Seperti kisah Superman yang tak berdaya dengan Kryptonitenya, klub-klub super yang memiliki para pemain bintang dan sistem permainan modern, seakan selalu mati kutu di hadapan gaya tua klub-klub dari Liga Italia.

Tim Italia masih mempertahankan filosofi catenacio mereka, formulasi bertahan dan memanfaatkan momentum transisi pemain untuk melakukan serangan balik.

Bukan sekedar itu saja catenacio juga mempunyai pola pendekatan yang variatif dan fleksibel dalam setiap pertandingan, tergantung lawan yang dihadapi mereka. Tak ada satu strategi yang di atas kertas sama dalam setiap pertandingan.

Setidaknya filosofi itu terbukti belum usang. Hal itu dibuktikan oleh tim nasional Italia yang menorehkan Piala Eropa pada tahun 2020 dan klub Real Madrid yang notabene dilatih oleh taktikal asal Italia Carlo Ancelotti yang menerapkan pendekatan catenacio dan sukses menjadi juara Liga Champions musim lalu.

Meski terlihat membosankan, tim Italia seperti memberikan tamparan pada sepak bola modern bahwa dalam sepak bola tidak melulu mengenai skema menyerang dan penguasaan bola.

Dengan bermainnya Inter Milan, AS Roma dan Fiorentina di final tiga kompetisi Eropa mungkin akan menjadi bukti bahwa tim Italia dengan kebersahajaan taktiknya dapat tampil menggigit di Eropa atau hanya sekedar memberi kesan bahwa sepak bola di Liga Italia masih ada. Jawabannya akan datang seusai partai final pada Juni mendatang.


Baca juga: Mourinho sebut final Liga Conference tentang sejarah
Baca juga: Roma ke final Liga Conference usai menang agregat 2-1 dari Leicester
Baca juga: Manchester City hadapi Inter Milan di final Liga Champions 2022/23

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2023