Jakarta (ANTARA News) - Presiden Palestina Mahmoud Abbas dijadwalkan berkunjung ke Jakarta pada 23 Juni mendatang. "Presiden Palestina akan diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga kini agendanya masih dimatangkan tetapi antara lain akan membahas situasi terakhir di Palestina termasuk mengenai referendum itu," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Desra Percaya kepada wartawan di Gedung Deplu, Jakarta, Jumat.. Pada kesempatan sebelumnya Menlu Hassan Wirajuda juga mengungkapkan mengenai rencana kunjungan Mahmoud Abbas itu. Menurut Menlu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela kunjungannya ke sejumlah negara di Timur Tengah mengadakan pembicaraan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan keduanya menyepakati kunjungan kepala negara Palestina itu ke Jakarta pada Juni ini. "Presiden Palestina, Mahmoud Abbas akan ke Indonesia bulan depan," kata Hassan ketika itu. Sebelumnya Hassan mengatakan sebenarnya Yudhoyono ingin bertemu langsung dengan Presiden Palestina pada saat mengunjungi negara-negara Timur Tengah, namun karena Mahmoud Abbas sedang sibuk sekali maka pertemuan secara fisik itu terpaksa tidak bisa dilakukan. Akhirnya kedua kepala negara melakukan pembicaraan melalui telepon. Pada kesempatan itu, Jubir Deplu juga mengatakan, Pemerintah Indonesia menyerukan kepada Palestina akan arti pentingnya persatuan bagi bangsa Palestina. "Indonesia menyerukan kepada Palestina arti pentingnya menjaga unity, caranya bagaimana terserah rakyat Palestina yang penting memperoleh dukungan dari seluruh rakyat Palestina," kata Desra saat ditanya mengenai rencana referendum yang akan dilakukan oleh Palestina mengenai Israel. Menlu Palestina Mahmoud al-Zahar pada 26 Mei 2006 juga melakukan kunjungan ke Jakarta dan diterima oleh Menlu Hassan Wirajuda serta Ketua MPR dan DPR. Sementara itu pada 30 Mei 2006, Kantor Berita Reuters melaporkan bahwa Menlu Palestina menolak dan mencap sebagai buang-buang waktu dan uang referendum yang akan diserukan oleh Presiden Mahmoud Abbas jika Hamas tak mengubah kebijakannya ke arah Israel. Az-Zahar adalah pemimpin senior Hamas dan pernyataannya merupakan penolakan paling jelas kelompok garis keras itu mengenai referendum, sehingga mempertegas jurang pemisah lebar antara faksi Fatah, pimpinan Abbas, dan Hamas --partai yang memerintah sejak kemenangannya dalam pemilihan umum Januari. "Tak seorang pun akan mengakui Israel. Tak perlu ada referendum," kata Az-Azahar selama kunjungan di Malaysia untuk menghadiri pertemuan Gerakan Non-BLok (GNB). Ia merujuk kepada kebijakan lama Hamas ke arah negara Yahudi. "Kami tidak takut pada referendum, tapi itu buang-buang waktu dan uang," katanya. Tak Punya Uang Pemerintah Otonomi Palestina, pimpinan Hamas, menghadapi kesulitan keuangan karena Amerika Serikat dan sekutunya telah memutuskan hubungan dengan Pemerintah tersebut untuk menekan Hamas agar mencela kerusuhan dan mengakui Israel. Abbas menetapkan tenggat 10 hari bagi Hamas untuk menerima usulnya yang disepakati rakyat Palestina bagi penyelesaian perdamaian jika Israel mundur dari seluruh Tepi Barat dan Jerusalem Timur milik Arab, yang diduduki sejak Perang Timur Tengah 1967. Abbas mengatakan kalau Hamas menolak untuk mendukung usul tersebut ia akan menyerukan referendum mengenai usul itu pada Juli. Hamas telah mencemooh usul perdamaian Abbas, yang dirancang oleh pemimpin Palestina yang ditahan di penjara Israel. Abbas, seorang tokoh moderat, memperoleh suara besar dalam pemilihan presiden awal 2005, proses yang tak diikuti Hamas. Rencana tersebut, yang dilandasi atas gagasan perdamaian Arab sebelumnya, menyerukan berdirinya negara Palestina berdampingan dengan Israel dan penarikan Israel dari seluruh wilayah pendudukan.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006