Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat dalam tahun ini mengingat kondisi perekonomian Amerika serikat (AS) yang kurang baik.
"Jadi, saya lihat penguatan dolar AS itu jangka pendek. Dalam jangka panjang dolar akan melemah, karena adanya
economic yang
slowdown, dan mereka punya faktor fundamental yang tidak bagus," kata Deputi Gubernur BI, Aslim Tadjuddin, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, neraca pembayaran AS saat ini defisitnya sangat besar, sehingga dolar AS akan melemah.
"Jadi, pelemahan ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena
pergerakan rupiah sejalan dengan mata uang secara global. Dolar AS menguat terhadap semua mata uang, kalau mata uang global yen, ero itu melemah, secara regional kita ikut di situ," katanya.
Dijelaskannya, pelemahan rupiah dan mata uang regional lainnya
disebabkan investor
hedge funds memperkirakan Bank Sentral AS
(The Fed) akan menaikkan lagi suku bunga pada akhir Juni menjadi 5,25 persen, sehingga deposit
short term di AS lebih menguntungkan, sehingga mereka memindahkan dananya ke situ.
Menurut dia, kondisi perubahan nilai tukar saat ini bagi negara-negara
emerging market, seperti Indonesia sangat dipengaruhi faktor
capital flows yang kebanyakan jangka pendek.
"Kita harus mencermati perkembangan ini. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan bahwa memang penguatan mata uang di negara
emerging market lebih disebabkan faktor
capital flows yang sebagian besar
short term. Yang
short term ini bergerak ke arah
yield yang besar. Yang perlu, kita membiasakan diri dengan pergerakan rupiah ini," katanya.
BI, lanjutnya akan menjaga pergerakan volatilitas nilai tukar rupiah, agar tidak terlalu tajam dengan selalu memonitor pergerakan rupiah di pasar.
"Kita selalu berada di pasar. Kita akan lakukan intervensi, apabila diperlukan untuk mengurangi volatilitas," katanya.
Keyakinan rupiah akan kembali menguat, lanjut Aslim, juga ditunjang besarnya cadangan devisa yang sudah mencapai 44 miliar dolar AS.
"Itu kan bagus, meski kita harus membayar pinjaman IMF, itu justru
dipandang positif oleh investor luar negeri, karena kita dipandang tidak butuh lagi
balance of payment support dari IMF," katanya.
Mengenai rencana pembayaran pinjaman IMF, yang sebelumnya direncanakan pekan ini, Aslim mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan pemerintah. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006