Jakarta (ANTARA) - Salah satu faktor yang membuat Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak begitu tegas terhadap junta Myanmar adalah sikap pemerintah Thailand.
Bahkan pada 22 Desember 2022, pemerintahan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha melancarkan manuver yang disebut PBS World Thai, sebagai sabotase terhadap ASEAN.
Saat itu, Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai mengundang Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin, untuk bertemu di Bangkok guna membahas krisis Myanmar. Pramudwinai juga mengundang menteri luar negeri Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Manuver Thailand ini membuat marah Indonesia dan Singapura karena berpandangan sebelum junta menunaikan janji-janjinya dalam Konsensus Lima Poin, ASEAN tak boleh menggelar pertemuan dengan pemimpin-pemimpin junta Myanmar.
Sikap pemerintahan Prayut Chan-o-cha terhadap junta Myanmar itu menjadi justifikasi bagi junta Myanmar untuk mempertahankan status quo.
Junta Myanmar bahkan berani merencanakan pemilihan umum pada Agustus tahun ini yang diperkirakan bakal memperkeruh suasana di Myanmar karena para penentang junta sudah bersumpah akan mengacaukan pemilu itu.
Situasi ini bisa memperparah krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar yang telah merenggut ribuan nyawa dan mengusir jutaan orang dari tempat tinggal mereka.
Keberatan Singapura dan Indonesia yang mengetuai ASEAN tahun ini agaknya dianggap angin lalu oleh rezim Prayut yang mantan panglima angkatan bersenjata Thailand itu.
Prayut juga pemimpin kudeta 2014 yang menggulingkan pemerintahan sah di Thailand yang waktu itu dipimpin mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.
Menteri Pertahanan Thailand Chalermphon Srisawasdi malah bertemu dengan pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, di Rakhine, Myanmar.
Pertemuan itu juga membuat kesal sejumlah kalangan di Thailand karena beberapa hari sebelumnya, pihak berwenang Thailand menyita aset anak-anak dan kroni Min Aung Hlaing karena terlibat perdagangan narkotika di Thailand.
Ini gambaran rezim Thailand tak lagi berusaha berada dalam platform ASEAN, khususnya dalam kaitannya dengan solusi damai di Myanmar.
Prayut kemudian memutuskan tidak menghadiri KTT ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, dengan alasan tengah menghadapi pemilihan umum, 14 Mei.
Namun bisa jadi alasan sebenarnya adalah solidaritas kepada junta Myanmar, apalagi hubungan militer Thailand dengan junta Myanmar sering diibaratkan bagaikan "adik dan kakak" itu.
Lebih sejalan dengan ASEAN
Kini, pemerintahan Prayut di ambang berakhir, setelah partai-partai reformis memperoleh suara terbanyak dalam pemilu 14 Mei.
Dua parpol teratas yang memenangi suara terbanyak sama-sama bertekad mereformasi sistem monarki dan berusaha mengamputasi peran militer dalam politik di Thailand.
Kedua partai itu adalah partai baru, Move Forward Party dan Partai Pheu Thai.
Partai Move Forward mengumpulkan 14 juta suara atau terbanyak dibandingkan dengan partai-partai mana pun.
Partai pimpinan Pita Limjaroenrat itu kini berusaha membentuk koalisi dengan Partai Pheu Thai dan lima partai kecil lainnya guna membangun kabinet pemerintahan.
Akan halnya Pheu Thai, partai ini didirikan di atas fondasi dua partai politik yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi Thailand karena alasan konstitusional beberapa tahun sebelumnya.
Dalam hampir dua dasawarsa terakhir ini, partai politik ini dan pendahulunya, menjadi kekuatan politik penting di Thailand, dan pernah dua kali memenangi pemilu.
Namun dalam dua kali menang itu pula mereka dua kali mengalami kudeta. Pertama, pada 2006 terhadap Thaksin Shinawatra, dan kedua pada 2014 terhadap Yingluck Shinawatra.
Yingluck adalah adik perempuan Thaksin yang sampai kini berada di pengasingan di luar negeri.
Partai Move Forward tak ada kaitan dengan partai keluarga Shinawatra itu.
Namun platform perjuangan mereka memiliki kesamaan, terutama dalam tekad meminggirkan militer dari politik dan mereformasi sistem monarki yang dianggap mereka membelenggu kebebasan.
Partai baru yang digandrungi anak muda itu juga mengkritik cara rezim Prayut berdiplomasi, sampai menyebut Prayut kerap mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan China.
Partai baru pemenang Pemilu 14 Mei itu juga menilai rezim Prayut telah meminggirkan ASEAN, terutama dalam upaya mencari solusi dalam krisis Myanmar.
Pemimpin mereka yang berusia 42 tahun, Pita Limjaroenrat, berjanji akan mengambil kebijakan luar negeri yang lebih memperhatikan ASEAN dan bertekad mewujudkan kepentingan-kepentingan nasional Thailand, tanpa keluar dari nilai dan etika global.
Dalam kata lain, Pita dan Partai Move Forward, akan mempedulikan demokrasi dan proses-proses demokratis yang memang termasuk nilai dan etika global itu yang kadang dilanggar militer Thailand.
Pandangan ini membuat sejumlah kalangan yakin Pita akan membawa Thailand lebih aktif bergerak dalam kerangka ASEAN.
Dengan begitu, Thailand bisa lebih sejalan dengan Indonesia, Singapura, dan kebanyakan negara ASEAN lainnya, terutama solusi krisis Myanmar.
Berharap nyaman dalam ASEAN
Dalam wawancara yang diterbitkan "This Week In Asia" pada Harian South China Morning Post bulan lalu, Pita Limjaroenrat mengungkapkan keinginan membangun koridor kemanusiaan dengan Myanmar, hal yang juga diinginkan ASEAN.
Oleh karena itu, kemenangan Partai Move Forward dan koalisinya semestinya menjadi angin segar untuk ASEAN yang pekan lalu sudah kuat-kuat mengikrarkan persatuan kawasan untuk mengarungi tantangan global yang semakin pelik.
Kemenangan partai pimpinan Pita Limjaroenrat itu juga menjadi angin segar untuk pemerintahan-pemerintahan demokratis di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina. Sebaliknya, menjadi kabar buruk untuk junta Myanmar.
Meskipun demikian, di Thailand, menang pemilu tidak otomatis bisa membentuk pemerintahan, apalagi agenda-agenda politik parpol-parpol pemenang pemilu dianggap mengancam kaum kemapanan, terutama militer dan pihak monarki.
Kalaupun Pita bisa membentuk pemerintahan mayoritas, belum tentu bisa melalui jalan yang mulus.
Ini karena setiap upaya membentuk pemerintahan, mesti mendapatkan persetujuan majelis tinggi atau senat. Padahal, seluruh dari 250 senator dalam senat adalah orang-orang pilihan para jenderal yang melancarkan kudeta 2014.
Ada kemungkinan senat menolak koalisi yang tak melibatkan partai-partai dukungan militer.
Jika keadaan ini terjadi, maka senat hanya akan menyetujui pemerintahan minoritas yang terdiri dari partai-partai dukungan militer yang kalah dalam pemilu 14 Mei lalu itu.
Kalaupun Pita berhasil menjadi perdana menteri dan membentuk pemerintahan, dia mungkin akan terus diganggu di parlemen dan lembaga-lembaga negara yang dikendalikan militer.
Thailand pun bisa kembali kepada situasi-situasi yang mendahului kudeta terhadap Thaksin dan Yingluck Shinawatra pada 2006 dan 2014.
Sejauh ini, pemerintah Thailand dan pihak monarki memang menyatakan menerima hasil pemilu 14 Mei, namun tak ada jaminan mereka tak akan bermanuver untuk mencegah pemenang pemilu 14 Mei, berkuasa di Thailand.
Jika ini yang terjadi, maka untuk ketiga kalinya dalam hampir dua dasawarsa terakhir, militer dan monarki mencampakkan partai-partai yang menuntut perubahan dalam tata kelola kenegaraan.
Ini pilihan yang berisiko tinggi karena bisa kian memperburuk citra militer dan monarki, apalagi reformasi kali ini didesakkan oleh kaum muda yang lebih kritis dan terpelajar, ketimbang pendukung keluarga Shinawatra yang kebanyakan kaum menengah ke bawah.
Yang pasti, kemenangan Partai Move Forward dan Pheu Thai adalah pesan pasti bahwa rakyat Thailand sudah tidak menginginkan peran militer yang terlalu luas.
Jika tren ini mewujud dalam pemerintahan yang mencerminkan keinginan sebagian besar rakyat, maka tentu akan baik bagi Thailand dan juga dunia, termasuk ASEAN.
ASEAN sendiri tentu bisa menyambut gembira karena mendapatkan mitra dari pemerintahan Thailand yang ketika berurusan dengan isu-isu kawasan, lebih nyaman bergerak dalam kerangka ASEAN.
Copyright © ANTARA 2023