Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengingatkan politik identitas sangat berbahaya, sebab politik itu dapat melahirkan pembelahan di masyarakat.
‘’Politik identitas bisa membelah masyarakat dalam waktu yang lama. Yang memperhadapkan pemerintah dengan masyarakat, atau masyarakat dengan masyarakat lain yang merasa saling berbeda," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Hal itu disampaikan Basarah dalam diskusi pubik bertajuk, problematika politik identitas jelang Pemilu 2024, di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu.
Kata dia, politik identitas adalah bagian dari strategi politik itu sendiri yang fokus mencari perbedaan di tengah masyarakat, lalu memanfaatkan primordialisme masyarakat untuk menarik simpati politik.
Dia mencontohkan pada Pemilu 2019, ketika narasi Partai Allah versus Partai Setan mudah ditemukan, atau pemilihan presiden 2019 disamakan dengan perang badar di zaman Rasulullah SAW.
‘’Ini tentu tidak benar, sebab Perang Badar adalah pertempuran antara umat Islam melawan kaum musyrik penyembah berhala, padahal masyarakat Indonesia tak ada yang menyembah berhala, malah mayoritas masyarakat adalah Muslim,’’ katanya menegaskan.
Dia mengingatkan politik identitas digunakan sekelompok orang, demi ambisi ingin memenangkan kontestasi pemilu lewat jalur pintas yang tidak elegan. Para pelaku politik identitas bahkan rela melakukan kampanye hitam lewat berita-berita bohong, hoaks, fitnah, dan kabar-kabar menyesatkan lainnya asal tujuan mereka tercapai.
‘’Mereka tidak mementingkan politik kebangsaan, tidak peduli tindakan mereka mengancam persatuan bangsa atau tidak, pokoknya asal menang, segala cara bakal mereka lakukan. Padahal, berita bohong dan fitnah yang mereka sebar membekas di hati masyarakat bertahun-tahun, bahkan sampai Pemilu telah lama usai,’’ jelasnya.
Dia mengungkapkan penggunaan narasi politik identitas telah sampai pada fase yang sangat sensitif, ketika relasi agama dan negara dipersoalkan lagi. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibenturkan dengan ideologi khilafah, bahkan sangat terasa ada ‘’invisible hand’’ yang berupaya mengadu domba kaum nasionalis dengan kelompok Islam, Tentara Nasional Indonesia (TNI) versus Polri.
Dia pun mengajak semua aktivis partai politik dari partai apa pun untuk memaksimalkan Undang Undang No 2 tahun 2011 tentang partai politik. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa parpol harus melakukan pendidikan politik, menciptakan iklim persatuan dan kesatuan, menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, mengamalkan Pancasila, serta memelihara keutuhan NKRI.
Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini juga mengimbau semua pihak kembali pada UU Pemilu No 7 tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf c, yang menegaskan pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain.
Baca juga: Pakar: Politik identitas sebabkan demokrasi alami kemunduran
Baca juga: Rektor UII: Kontestasi politik jangan tonjolkan identitas
Pewarta: Fauzi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023