Jakarta (ANTARA) - Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Muhammad Syarif Bando mengatakan bahwa perpustakaan saat ini memiliki tugas yang cukup penting, yakni untuk mentransfer ilmu untuk meningkatkan kecakapan literasi masyarakat Indonesia, bukan hanya sebatas mengoleksi buku.

“Perpusnas telah melakukan langkah-langkah inovasi yang relevan, bukan hanya mengumpulkan dan menginventarisasi, tetapi sudah fokus pada transfer ilmu, melalui kerja sama dengan sivitas akademika, khususnya perguruan tinggi di daerah,” kata Syarif pada diskusi yang diikuti secara daring dalam peringatan Hari Buku Nasional dan 43 tahun Perpusnas RI di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan perpustakaan kini memiliki paradigma baru, yakni 10 persen untuk mengelola koleksi, 20 persen untuk mengelola pengetahuan, yakni mempertemukan penulis dengan para pemangku kepentingan, dan 70 persen untuk transfer pengetahuan, yakni mengembangkan teori ilmu perpustakaan yang relevan dengan menggandeng sivitas akademika.

Baca juga: Kepala Perpusnas: Literasi harus dorong Indonesia jadi negara produsen

“Sekitar 60 persen masyarakat kita masih tinggal di pedesaan yang kategorinya masih termarjinalkan, maka kami mengundang sivitas akademika di perguruan tinggi untuk mengintervensi, ada transfer ilmu di sana. Sebenarnya masyarakat kita di pedesaan, dia hanya membutuhkan buku-buku yang sangat sederhana, misalnya ilmu-ilmu terapan untuk pemulihan ekonomi, dan bagaimana meningkatkan produktivitas pertanian,” kata Syarif.

Menurutnya, itulah koreksi paling fundamental dari filosofi pendidikan yang diinisiasi oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

“Filosofi pendidikan kita tidak boleh hanya didefinisikan kemampuan guru atau dosen mengajarkan apa kepada mahasiswanya, tetapi bagaimana memberikan pengetahuan dan pembelajaran terhadap apa yang diinginkan, memilih bidang yang mereka sukai, untuk menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.

Ia mengatakan saat ini perkembangan literasi masyarakat Indonesia masih berada pada kelompok kedua.

“Mayoritas masyarakat Indonesia belum memanfaatkan kecakapan (membaca) itu sebagai kebiasaan untuk menambah pengetahuan, padahal ada lima tahap yang harus ditempuh, dan harusnya kita sudah bisa di tahap kelima, yakni memanfaatkan literasi untuk memproduksi barang dan jasa,” tuturnya.

Adapun lima tahapan tersebut, pertama, baca, tulis, hitung, dan pembentukan karakter. Kedua, akses bahan bacaan terjangkau yang akurat, terkini, terlengkap, dan terpercaya. Pada tahapan ini, Indonesia masih dikategorikan pada tahap rendah.

Pada tahap sedang, kedua dan ketiga, yakni memahami apa yang tersirat dan tersurat, serta inovasi dan kreativitas sebagai antisipasi terhadap perkembangan teknologi informasi.

Baca juga: Perpusnas tingkatkan literasi lewat Transformasi Perpustakaan Inklusi

Baca juga: Perpusnas sebut 15 juta buku digital solusi ketimpangan jumlah buku

Di tahap tinggi (tahap kelima) yang sudah diterapkan oleh negara-negara maju, yakni memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diimplementasikan untuk menciptakan barang atau jasa yang dapat digunakan dalam kompetensi global.

“Padahal, ada arahan Presiden tentang pentingnya transformasi Perpustakaan untuk mempercepat terwujudnya SDM Unggul, yang tiga diantaranya adalah peningkatan inovasi dan kreativitas, kemampuan menciptakan lapangan kerja, dan kemampuan menyerap tenaga kerja, serta mengurangi pengangguran,” paparnya.

Untuk itu, dia mengajak Pustakawan dan seluruh jajaran atau sivitas akademika di perguruan tinggi untuk memanfaatkan perpustakaan sebagai pusat mentransfer ilmu, sehingga dapat meningkatkan inovasi dan kreativitas untuk mendidik mahasiswa yang sudah lulus agar bisa menciptakan lapangan kerja.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023