Jakarta (ANTARA) - Petahana Recep Tayyip Erdogan memang mengumpulkan suara terbanyak dari pemilihan presiden Turki pada 14 Mei, tetapi tak bisa langsung memenangkan pemilu itu karena masih di bawah ambang batas 50 persen sehingga pemilihan presiden mesti dilanjutkan ke putaran kedua.
Dia tak saja mengungguli pesaing terdekatnya, Kemal Kilicdaroglu, tapi juga mementahkan ramalan berbagai jajak pendapat sebelum pemilu bahwa dia akan langsung disingkirkan oleh Kilicdaroglu.
Namun demikian, justru dengan bekal 49,5 persen dari pilpres putaran pertama, ditambah suara mayoritas dalam parlemen Turki yang dimenangkan Aliansi Rakyat yang dipimpinnya, Erdogan diperkirakan bakal memenangkan pilpres putaran kedua pada 28 Mei.
Akan halnya Kilicdaroglu yang diusung koalisi Aliansi Nasional yang beroposisi dengan Erdogan dan beranggotakan enam partai dipimpin Partai Rakyat Republik (CHP), mengumpulkan 45 persen, jauh di bawah hasil berbagai jajak pendapat sebelum pemilu.
Kilicdaroglu yang memimpin CHP selama 13 tahun terakhir, gagal memanfaatkan pergeseran opini publik dalam masyarakat Turki yang mengkritik pemerintahan Erdogan dalam memerangi korupsi dan mengatasi krisis ekonomi serta dalam menangani dampak gempa di Turki tenggara awal Februari silam.
Sebagian basis suara Kilicdaroglu malah direbut Sinan Ogan yang diusung sebuah partai nasionalis. Ogan yang meraih 5 persen suara bakal menjadi penentu dalam pilpres putaran kedua.
Berdasarkan laporan dan analisis media Turki dan asing, Erdogan mendapatkan dukungan kaum konservatif, nasionalis dan kelompok religius, khususnya di Turki bagian Asia.
Erdogan bahkan menangguk 70 persen suara Provinsi Konya yang menjadi satu dari tiga provinsi terbesar di Turki dan berpenduduk mayoritas kaum religius.
Erdogan ternyata juga masih mampu menjadi pemenang suara terbanyak di Kahramanmaras yang Februari silam menjadi provinsi terparah diguncang gempa bumi.
Erdogan memang sempat dikritik keras karena lamban menangani gempa bumi 6 Februari, tetapi tekadnya untuk segera merekonstruksi daerah-daerah terdampak gempa, telah memikat pemilih di daerah-daerah terdampak gempa, termasuk Hatay di mana banyak bangunan ambruk dirobohkan gempa.
Di Hatay, Erdogan nyaris memperoleh 50 persen suara.
Kilicdaroglu sendiri hanya bisa menang di kota-kota besar, termasuk Istanbul dan Ankara.
Reformasi politik dan ekonomi, serta kebebasan yang diserukan Kilicdaroglu hanya bergaung di daerah perkotaan. Itu tidak saja membuat suara dia terpaut jauh dari Erdogan, tetapi juga menyimpulkan agenda reformasinya tak memikat kebanyakan rakyat Turki.
Hal itu ditambah oleh sikapnya yang mendorong dialog dengan minoritas Kurdi, yang ditentang keras oleh kaum nasionalis yang belakangan menjadi warna dominan dalam spektrum politik Turki.
Banyak yang menyebut pemilu Turki putaran pertama menampilkan wajah lain politik Turki yang selama ini umum menampilkan dikotomi Islam politik melawan sekularisme atau kaum konservatif melawan kaum liberal, yang memang melekat pada Erdogan dan Kilicdaroglu.
Padahal, ada fenomena lain yang lebih besar yang membuat suara Kilicdaroglu jeblok dan sebaliknya menaikkan suara Erdogan. Dan itu adalah kaum nasionalis dan gerakan nasionalisme mereka.
Baik dalam kubu Erdogan maupun kubu Kilicdaroglu, kaum nasionalis menjadi penentu kecenderungan suara.
Kaum nasionalis pimpinan Devlet Bahceli dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) adalah mitra terpenting Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Pun pada kubu Kilicdaroglu yang memimpin CHP, sekutu terkuatnya adalah Partai Iyi yang berhaluan nasionalis. Partai ini didirikan pada 2017 sebagai sempalan MHP setelah sebagian tokoh MHP menolak partai ini berkoalisi dengan AKP pimpinan Erdogan.
Bahkan, Sunan Ogan yang memperoleh suara 5 persen dari pilpres putaran pertama 14 Mei itu adalah juga nasionalis yang juga bekas tokoh MHP.
Ajang pertarungan kaum nasionalis
Dalam kata lain, pemilu Turki kali ini adalah ajang pertarungan kaum nasionalis, yang memiliki sifat dan orientasi politik berbeda dari gerakan Islam politik pimpinan Erdogan dan sekularisme yang dimajukan Kilicdaroglu.
MHP tadinya berhaluan ultranasionalis yang menisbikan persatuan Turki dan sebaliknya sangat mengharamkan separatisme yang selama ini diam-diam atau terang-terangan diaspirasikan oleh warga kaum minoritas Kurdi.
Partai yang didirikan oleh pensiunan tentara bernama Alparslan Turkes pada 1960-an itu awalnya partai gurem. Lama kelamaan membesar dengan garis nasionalis yang lebih lembut setelah Devlet Bahceli memimpin partai itu.
Partai ini menolak habis-habisan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dinyatakan terlarang di Turki sehingga menjadi pihak yang paling kencang menentang proses perdamaian dengan PKK pada awal 2010-an.
Lalu, setelah kudeta gagal terhadap Erdogan yang dirancang anasir-anasir gerakan pimpinan ulama Fethullah Gulen pada 2016, MHP berubah menjadi mitra terpercaya AKP dan Erdogan.
Tokoh mereka sendiri, Bahceli, menggantikan dua tokoh moderat, Abdullah Gul dan Ahmet Davutoglu, sebagai sekutu terpercaya Erdogan.
Namun, kemesraan MHP dengan Erdogan-AKP tidak disukai sejumlah tokoh MHP yang lain. Mereka kemudian membentuk Partai Iyi, sedangkan lainnya memutuskan jalan seperti, termasuk Sinan Ogan yang bakal menjadi penentu pilpres putaran kedua nanti.
Masuknya kaum nasionalis dalam lingkaran politik dan kekuasaan Turki membuat narasi politik pun menjadi keras nan radikal, khususnya dalam kaitannya dengan separatisme dan persatuan nasional Turki.
Kekerasan pandangan nasionalis mereka mendorong Erdogan menjadi semakin keras terhadap separatis Kurdi, tidak saja di dalam negeri, namun juga di luar negeri, khususnya di perbatasan Turki dengan Suriah, Irak dan Iran.
Bahkan, salah satu alasan Turki terlibat jauh di Suriah dan perang global melawan ISIS di Suriah dan Irak beberapa tahun lalu, adalah keinginannya menjinakkan Kurdi Irak dan Suriah agar tak menjadi kepanjangan tangan Kurdi Turki.
Meskipun begitu, dalam awal-awal perang saudara di Suriah dan perang global melawan ISIS, Turki masih menoleransi pejuang Kurdi di Suriah dan Irak, hanya karena pasukan Kurdi sangat diandalkan Amerika Serikat dan Barat dalam melawan ISIS dan pasukan Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Turki memperlihatkan wajah aslinya manakala konflik di Suriah memasuki fase akhir, dengan mengintervensi wilayah utara Suriah guna menjinakkan pasukan Kurdi Suriah.
Kini, pemilu 2023 memperlihatkan kaum nasionalis di Turki semakin kuat dan berpengaruh di negara yang menapak di dua benua tersebut.
Mereka berpotensi menjadi gerakan politik ketiga yang bisa menentukan masa depan Turki, setelah sekularisme dan Islam politik.
Mereka tak hanya bisa mengubah lanskap politik Turki, namun juga bagaimana ekonomi nasional dikelola dan bagaimana Turki berhubungan dengan dunia internasional.
Barat mengkhawatirkan kemenangan Erdogan akan mendekatkan Turki kepada Rusia dan menjadikan Turki menjadi duri dalam daging di Eropa yang sudah terasa ketika mereka mempersulit keanggotaan Swedia dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Beberapa negara Timur Tengah juga mengkhawatirkan kemenangan Erdogan bakal membuat Turki semakin agresif dan ekspansif, termasuk Suriah yang mengkhawatirkan kehadiran permanen pasukan Turki di wilayah utaranya.
Kaum nasionalis juga menjadi pihak yang paling keras menentang kehadiran jutaan pengungsi Arab Surih di Turki.
Kemenangan Erdogan bisa mendorong Turki mengambil kebijakan tak menerima pengungsi yang akibatnya menjadi masalah besar bagi Surian dan Timur Tengah pada umumnya.
Inilah salah satu dari dimensi dan realitas baru dalam politik Turki saat ini yang tersingkap dari pemilu 14 Mei.
Copyright © ANTARA 2023