Jakarta sudah terlalu berantakan"

Jakarta (ANTARA News) - Genangan air yang membanjiri beberapa ruas jalan protokol ibukota dan wilayah sekitar Jakarta sejak empat hari lalu telah menghentikan roda aktifitas penduduk dan perekonomian Jakarta.


Mereka yang menjadi korban dipaksa mengungsi dan harus merelakan harta bendanya hancur dilapukkan air keruh yang dibawa banjir bandang.


Sebagian dari mereka bahkan dibebani trauma, oleh tiba-tibanya harta benda dan rumah mereka hancur, apalagi banyak dari mereka yang baru sekali ini merasakan betapa pahitnya menjadi korban banjir.


Triliunan rupiah diperkirakan terbuang cuma-cuma oleh hilangnya harta benda dan potensi kegiatan ekonomi yang terhenti oleh banjir.


Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban banjir yang meninggal dunia sejak Selasa lalu sudah mencapai lima belas orang. Tragis, untuk ukuran sebuah kota yang seharusnya siap menghadapi banjir, mengingat hampir setiap tahun diserang bencana alam seperti ini.


Semua bingung bagaimana harus menelusuri awal dari bencana yang jelas tidak semata kesalahan alam ini. Beberapa kalangan, termasuk orang awam sendiri, berusah mencari biang keladi di balik bencana ini.


"Mungkin kita sedang dihukum alam, alam marah soalnya sekarang makin banyak manusia jahat," kata Sanipah dengan lugu.


Kepada ANTARA News, perempuan renta asal Rempoa, Jakarta Selatan, ini mengaku baru kali ini dia melihat banjir begitu besar menggenangi ibukota Jakarta, kendati banyak pihak, termasuk BNPN menyebut bencana ini tak lebih dahsyat dari bencana serupa pada 2007.


"Sampai umur saya sekarang 74 tahun, baru kali ini saya lihat di tipi (televisi) Sudirman - Thamrin yang megah sudah seperti kali Ciliwung kotor begitu rupa," kata si nenek ini, sembari menunggu KRL Commuter Line lintas Serpong menuju Palmerah, di Stasiun Pondok Ranji.


Salah siapa


Bila Sanipah menganggap banjir besar lalu itu adalah hukuman alam, tidak demikian dengan Miliana Salim. Perempuan ini menuding pemerintah sebagai pihak yang paling patut disalahkan.


"Ah, banjir itu kan sudah seperti agenda tahunan setiap musim hujan mengguyur Jakarta. Pemerintah harusnya tanggap, jadi banjirnya tidak sampai seheboh sekarang ini," kata ibu rumah tangga yang berdomisili di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini.


Miliana menganggap anggaran yang dimiliki Pemda DKI sebenarnya dapat digunakan untuk memperbaiki sistem irigasi kota Jakarta.


"Ini sekarang jadi tugasnya Jokowi-Ahok, untuk memperbaiki sistem irigasi Jakarta. Cuaca yang makin ekstrim menuntut Jakarta untuk punya sistem irigasi yang memadai. Tanggul saja bisa jebol, bagaimana tidak banjir coba," kata Miliana.


Tidak hanya Miliana, Rendra, juga seorang pengguna KRL Commuter Line, ikut menagih janji Jokowi dalam menyelesaikan masalah banjir yang tidak hanya merugikan, namun juga semakin meresahkan warga Jakarta.


"Sekarang Jokowi-Ahok ditunggu untuk merealisasikan janjinya nih. Banjir bikin mati Jakarta, bahkan KRL jadwal dan operasinya jadi berantakan. Benar-benar ganggu!" keluh warga Bintaro, Jakarta Selatan, ini.


Namun Dede Qudsiah rupanya tak sependapat dengan Rendra.


"Semua itu kan butuh proses, Jakarta sudah terlalu berantakan. Pasangan Jokowi - Ahok tentu butuh waktu untuk menyelesaikan masalah ini," kata Dedeh membela Jokowi.


Dedeh yang berdomisili di Ciputat, Tangerang Selatan, ini justru menyalahkan para pengembang dan pembangun perumahan serta pusat-pusat perbelanjaan lainnya.


"Coba yah, para pengembang daripada bikin mal terus menerus, kenapa tidak bikin taman kota untuk resapan air saja sih," kata Dedeh gusar.


Dia menunjuk para pengembang sebagai pihak yang patut disalahkan atas banjir besar ini. Bangunan-bangunan megah yang mereka bangun telah mengambil tempat di atas resapan air, kata Dedeh.


"Tidak ada ruang hijau untuk publik bersantai, atau pun paru-paru kota. Yang banyak hanyalah hutan beton raksasa yang tidak menyerap air. Apalagi sekarang, curah hujan semakin tinggi, nggak ada serapan air malah bikin banjir," serang Dedeh.


Ngaca diri sendiri


Pembicaraan di stasiun Pondok Ranji kian semakin memanas, kala Samsudin Mahmud nimbrung.


"Kalau soal pengembang, itu kembali lagi ke Pemda DKI, kan mereka yang kasih izin para pengembang untuk membangun gedung-gedung itu," kata Samsudin yang ternyata seorang pensiunan itu.


Kata Samsudin, alangkah baiknya Dinas Kebersihan DKI mendidik penyapu jalan untuk tidak membuang sampah sembarangan, apalagi sampai di jalan dan gorong-gorong.


"Itu kan saluran air, bukan tempat pembuangan sampah. Beberapa kali saya lihat penyapu jalan buang sampah yang dia sapu di gorong-gorong. Waduuh, bikin banjir itu," kata Samsudin.


Manakala "debat publik" setengah jam di stasiun Pondok Ranji itu akan berubah panas, seorang remaja perempuan tiba-tiba nyeletuk.


Dengan santainya si remaja bilang, "Sudah lah, nggak usah salah-salahan. Coba saja ngaca ke diri sendiri dulu, suka buang sampah sembarangan nggak? Itu tuh yang juga bikin banjir. Sudah ada tempat sampah masih buang sembarangan."


Selesai berkata itu, "anak kemarin sore" itu menyeberangi rel kereta, lalu keluar dari stasiun Pondok Ranji.


(M048)


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013