... penerapan angka pecahan pembulatan ke bawah akan berdampak pada pencalonan perempuan pada 38 daerah pemilihan ...
Semarang (ANTARA) - Pada tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif, baik DPR RI, DPD RI, maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sejak 1 Mei hingga Minggu (14/5), sempat menuai pro dan kontra terkait dengan aturan keterwakilan perempuan di parlemen.
Dalam sejarah kepemiluan di Tanah Air, terutama pasca-Orde Baru, keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI belum pernah terpenuhi hingga pemilu terakhir.
Pada Pemilu Anggota DPR RI 2004 persentase keterwakilan perempuan sebanyak 12 persen, kemudian pada Pemilu 2009 naik menjadi 18,3 persen (103 kursi).
Lima tahun kemudian, Pemilu 2014, mengalami penurunan menjadi 17,32 persen (97 kursi) dari total 560 kursi DPR RI yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).
Menjelang Pemilu 2019, lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mensyaratkan partai politik peserta pemilu harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Lima belas partai politik yang berlaga pada Pemilu Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada tahun 2019 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon anggota legislatif dalam daftar tersebut.
Namun, hasil Pemilu 2019 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR RI masih di bawah 30 persen, atau 20,8 persen (120 perempuan) dari 575 anggota DPR RI. Kendati demikian, jika dibandingkan pada pemilu sebelumnya, persentase itu meningkat.
Tidak pelak lagi, begitu ada aturan yang menghambat kaum hawa melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI, organisasi/lembaga yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menolak Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.
Mereka melakukan itu di tengah tahapan pengajuan bakal calon anggota legislatif, 1—14 Mei 2023, tepatnya pada tanggal 8 Mei 2023. Mereka mendatangi Bawaslu RI, Jalan M.H. Thamrin No. 14, Jakarta Pusat.
Terdapat 23 organisasi/lembaga yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, yakni Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Berikutnya Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI, Kalyanamitra, Institut Perempuan, KOPRI PB PMII, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, JALA PRT, Prodi Kajian Gender UI, Cakra Wikara Indonesia (CWI), dan CEDAW Working Group Indonesia.
Organisasi/lembaga lainnya, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), KOHATI PB HMI, FORHATI Nasional, Pusako FH Unand, Election Corner UGM, Pusat Studi Kepemiluan Unsrat, Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Mereka menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI segera merevisi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 8 ayat (2) huruf b mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
a. kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Pengaturan tersebut lalu diikuti dengan penerbitan Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang lebih perinci mendetailkan implementasi dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 tersebut.
Dalam Lampiran IV Keputusan No. 352/2023 diberikan simulasi penghitungan keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon sebagaimana berikut.
Mereka menilai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b PKPU No. 10/2023 juncto Lampiran IV Keputusan No. 352/2023 secara nyata bertentangan dengan norma yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU No. 7/2017 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Pengaturan KPU itu mereka nilai melanggar ketentuan Pasal 245 UU No. 7/2017 sebab penggunaan rumus pembulatan ke bawah sebagaimana terdapat dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b PKPU 10/2023 jo. Lampiran IV Keputusan No. 352/2023 akan berdampak pada keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen pada sejumlah daerah pemilihan (dapil), yaitu pada dapil dengan jumlah caleg 4, 7, 8, dan 11 seperti berikut ini.
Jika disimulasikan dengan kursi DPR, penerapan angka pecahan pembulatan ke bawah akan berdampak pada pencalonan perempuan pada 38 daerah pemilihan seperti di bawah ini:
Mereka menganggap PKPU itu bukan hanya melawan norma dalam UU Pemilu, melainkan juga inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara.
Revisi PKPU
Dorongan revisi PKPU 10/2023 tidak hanya Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, tetapi juga Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Kementerian PPPA menyampaikan bahwa KPU perlu merevisi PKPU 10/2023, terutama Pasal 8 ayat (2) mengenai penghitungan jumlah 30 persen keterwakilan bakal calon anggota DPR dan bakal calon anggota DPRD karena dalam kegiatan pemerintahan, pemerintah menargetkan adanya aspek pemberdayaan perempuan.
Menurut Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (sumber: ANTARA, Rabu, 10 Mei 2023), KPU, Bawaslu, dan DKPP telah sepakat melakukan revisi terhadap PKPU 10/2023, khususnya Pasal 8 ayat (2) setelah menggelar forum tripartit atau tiga pihak di Kantor DKPP RI, Jakarta, Selasa (9/5) malam.
Saat ini, Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 mengatur bahwa jika dalam penghitungan 30 persen bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan dengan dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.
Ketiga lembaga penyelenggara pemilu itu sepakat untuk merevisi ketentuan tersebut menjadi pembulatan ke atas jika dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan.
Berikutnya, KPU juga akan menambahkan Pasal 94 A ayat (1) dan ayat (2) dalam PKPU tersebut. Ayat (1) mengatur bahwa bagi partai politik (parpol) peserta pemilu, yang sudah mengajukan daftar bakal calon sebelum berlakunya revisi PKPU tersebut, dapat melakukan perbaikan daftar calon sampai batas akhir masa pengajuan bakal calon pada tanggal 14 Mei 2023.
Ayat (2) mengatur dalam hal parpol peserta pemilu tidak dapat melakukan perbaikan daftar bakal calon sampai dengan batas akhir pendaftaran, maka melakukan perbaikan daftar calon pada tahapan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon.
Menindaklanjuti ultimatum Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang telah disampaikan pada tanggal 8 Mei dan 10 Mei 2023 agar KPU segera merevisi PKPU 10/2023 Pasal 8 ayat (2) huruf a, Titi Anggraini mengatakan bahwa pihaknya menemukan fakta bahwa KPU tidak mempunyai komitmen solid melaksanakan kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatannya untuk mengimplementasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD, sebagaimana diatur dalam UUD dan UU No.7/2017.
Bahwa PKPU No. 10/2023 tidak hanya bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017, tetapi juga tidak memberi kepastian terhadap pelaksanaan zipper system sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 246 (2) UU No. 7/2017 dan penjelasannya yang menyebutkan bahwa di dalam setiap tiga bakal calon perdapat paling sedikit satu orang perempuan.
Selanjutnya penjelasan pasal a quo menegaskan bahwa dalam setiap tiga bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3, demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Pembaruan UU No.7/2017 yang memastikan penempatan calon perempuan pada nomor urut kecil merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XI/2013. PKPU No. 10/2023 hanya mengadopsi ketentuan Pasal 246 ayat (2) UU No.7/2017.
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai KPU sebagai pelaksana UU mengabaikan ketentuan penjelasan Pasal 246 (2) UU No. 7/2017 sehingga menimbulkan kerugian bagi bakal calon perempuan yang telah diafirmasi hak politiknya oleh UUD NRI Tahun 1945, Putusan MK No.20/PUU-XI/2013, dan UU Pemilu.
Demikian pula instrumen teknis sistem informasi pencalonan (silon), menurut dia, juga tidak mendukung partai politik untuk menempatkan perempuan pada nomor urut kecil.
Sebagai ilustrasi pada Pemilu 2014 dan 2019, apabila partai mengusung sembilan orang bakal caleg, minimal caleg perempuan yang harus diajukan partai adalah sebanyak tiga orang.
KPU mengatur dalam PKPU No. 7/2013 dan PKPU No. 20/2018, dalam hal perempuan caleg ditempatkan pada nomor urut kecil (misalnya 1, 3, dan 4), maka KPU membolehkan apabila pada nomor urut 7, 8, dan 9 tidak terdapat perempuan caleg karena sudah mendapatkan afirmasi ditempatkan pada nomor urut kecil sesuai dengan ketentuan Penjelasan Pasal 246 UU No. 7/2017.
Namun, amat disayangkan PKPU No. 10/2023 dan silon yang digunakan KPU saat ini untuk Pemilu 2024 melarang penerapan afirmasi penempatan nomor urut sebagaimana praktik Pemilu 2014 dan 2019. PKPU No. 10/2023 dan silon akan menolak pengajuan bakal caleg yang diajukan sebagaimana ilustrasi di atas.
Sebaliknya, silon hanya akan menerima pengajuan daftar caleg an sich setiap tiga caleg memuat paling sedikit satu perempuan caleg dan menolak menerapkan afirmasi penempatan perempuan pada nomor urut kecil sebagaimana penerapan pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Ketidakpastian penetapan revisi PKPU No. 10/2023, menurut Titi, berdampak luas bagi pelaksanaan dan perlindungan hak politik perempuan untuk berpartisipasi sebagai calon anggota DPR dan DPRD.
Selain itu, kelambanan penetapan revisi PKPU juga dapat menimbulkan kerumitan teknis bagi KPU dan partai politik peserta pemilu untuk mengakselerasi regulasi.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023