Pekanbaru (ANTARA News) - Kementerian Kelautan dan Perikanan menerjunkan tim cepat tanggap Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan Badan Penelitian dan Pengembangan KKP meneliti kematian massal ikan di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat.
"Tim ini berasal dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang bertugas mengidentifikasi lokasi terdampak dan jumlah pembudidaya yang terkena musibah," kata Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebijakto, dalam surat elektroniknya disampaikan Kapusdatin KKP Indra Sakti diterima ANTARA Pekanbaru, Sabtu.
Ia mengatakan, selain meneliti tim tersebut juga akan mencari solusi dalam mengatasi kematian ikan di waduk itu.
Dijelaskan Slamet bahwa dalam kurun waktu 2008 - 2010 telah dilakukan pilot project penebaran bandeng di waduk Djuanda melalui pengelolaan perikanan secara bersama dan selama kurun waktu tersebut tidak terjadi kematian ikan massal.
"Selama 2008 - 2010 belum pernah terjadi kematian ikan secara massal di waduk Djuanda," ujarnya.
Slamet mengungkapkan berdasarkan hasil identifikasi Tim DJPB di waduk Djuanda, daerah terdampak musibah kematian massal berlokasi di lima Zona, dari desa Tajur, kecamatan Sindang sampai desa Sindang Laya, Kecamatan Sukatani.
Hampir sebagian besar pembudidaya, katanya, mengalami kematian ikan massal. Untuk itu, diharapkan kepada para pembudidaya agar menggunakan pakan ikan yang ramah lingkungan dan DJPB akan berkoordinasi dengan pemda setempat, terkait dengan peraturan-peraturan yang menyangkut zonasi dan daya dukung waduk.
"Karena itu DJPB segera melakukan penebaran ikan bandeng guna memperbaiki kondisi kualitas air di waduk Djuanda," kata Slamet.
Peneliti Badan Litbang KKP, Prof. Endi Kartamihardja, mengungkapkan bahwa setelah dilakukan analisa dan berdasarkan data yang ada, diperoleh hasil penyebab arus balik pada awal tahun 2013 ini adalah cuaca ekstrem ditandai dengan mendung dan hujan gerimis.
Tanpa sinar matahari lebih dari tiga minggu itu telah menimbulkan perbedaan suhu air di permukaan dan lapisan dasar waduk, yang pada akhirnya menyebabkan "umbalan".
Namun umbalan yang terjadi justru waduk Djuanda membawa air yang mengandung gas-gas beracun dari dasar waduk, sehingga menyebabkan kematian massal.
Penyebab penurunan kualitas air di dasar waduk karena tingginya bahan organik yang masuk ke dalam waduk, blooming plankton dan budidaya ikan yang melebihi 10 kali dari daya dukung wilayah tersebut.
"Untuk mengurangi penurunan kualitas air di dasar waduk, perlu adanya pengurangan bahan organik yang masuk ke waduk, pengendalian plankton dan melakukan padat tebar sesuai daya dukung.
Diperlukan penebaran benih di Karamba Jaring Apung (KJA) sesuai dengan daya dukung dan penebaran ikan jenis plankton feeder (pemakan plankton) seperti Bandeng, Mola, Tambakan, Sepat dan Nila.
Selain itu pengaturan pola tebar ikan di KJA, khususnya selama bulan November sampai Februari sangat disarankan, mengingat kematian massal yang diakibatkan oleh umbalan sering terjadi pada bulan-bulan tersebut, kata Prof Endi.
(F011)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013