Menariknya misalnya hari ini, secara mutakhir, mereka yang menjadi korban pelaku TPPO bukan lagi mereka yang dikategorikan berpendidikan rendah atau tidak memiliki akses informasi

Jakarta (ANTARA) - Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyoroti tren korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mulai bergeser kepada masyarakat yang sudah berpendidikan tinggi.

“Menariknya misalnya hari ini, secara mutakhir, mereka yang menjadi korban pelaku TPPO bukan lagi mereka yang dikategorikan berpendidikan rendah atau tidak memiliki akses informasi,” kata Kepala BP2MI Benny Rhamdani dalam FMB9 Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Benny menuturkan pada kasus Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berangkat untuk bekerja ke Kamboja atau Myanmar yang terkena scamming online, rata-rata tingkat pendidiknya merupakan S1 atau D3.

Mereka ditempatkan secara ilegal melalui iming-iming mendapatkan gaji bertarif tinggi dengan cara yang cepat, meski mengetahui akan diberangkatkan secara tidak resmi, yakni menggunakan visa turis, visa umroh atau ziarah ke Timur Tengah.

Padahal di Indonesia sudah mempunyai payung hukum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Pasal 8 Ayat 1 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang terkait perlindungan administratif dan perlindungan teknis.

Baca juga: Pengamat dorong optimalisasi penegakan hukum dan pencegahan TPPO

Di dalamnya ditegaskan setiap dokumen untuk keperluan administrasi juga harus dimiliki oleh para pekerja dan dipastikan visanya adalah visa pekerja.

“Setiap mereka yang bekerja resmi ke negara-negara penempatan, itu jelas harus mengikuti apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang kita. Tidak sekadar mereka harus mengikuti pendidikan dan pelatihan, tidak sekadar harus mereka dibuktikan dengan kompeten atau bersertifikat kompetensi,” katanya.

Benny meminta persoalan ini betul-betul dikawal pemerintah. Berdasarkan data BP2MI secara by name by address jumlah PMI yang secara resmi bekerja di Malaysia ada 1.3244.102 orang pada sektor perkebunan, operator, hingga sektor domestik.

Kemudian di Singapura kurang lebih 322 ribu orang, Thailand 4.000 orang untuk bidang konveksi dan pelaut, 92.000 orang di Brunei Darussalam untuk bekerja domestik dan general worker, serta Myanmar kurang lebih 1.016 orang.

Baca juga: Indonesia dan Vietnam jajaki kerjasama pencegahan konten digital TPPO

Dalam kesempatannya ia menekankan bahwa Filipina, Laos, Kamboja, dan Timor Leste, bukan negara penempatan, sehingga bagi seluruh masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri diimbau untuk memastikan berangkat secara legal.

Benny berharap diselenggarakannya KTT ASEAN ke-42 yang dipimpin Indonesia bisa mengajak seluruh pemimpin kawasan ASEAN untuk secara berdaulat menyatakan perang pada sindikat TPPO dan tidak memberikan izin bagi warga negara asing untuk bekerja secara tidak resmi di negara lain.

Dengan demikian seluruh pemimpin bisa mendeklarasikan bahwa kawasan ASEAN siap memerangi kejahatan TPPO dan menegakkan hukum yang dapat melindungi para pekerja migran agar tidak terjerat tipu daya para pelaku.

“Kita bisa menggunakan forum-forum diplomatik untuk bersikap keras agar tidak ada negosiasi, tidak ada kompromi, pada tindak pidana perdagangan orang yang bisa kita kategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan,” ucap Benny.

Baca juga: Kemlu: Deklarasi pemberantasan TPPO penting bagi masyarakat ASEAN
Baca juga: Para menteri luar negeri ASEAN bahas upaya cegah perdagangan orang

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023