"Kekuatan politik, ekonomi dan militer AS memang tidak dapat dilawan secara terang-terangan, tetapi secara politik diplomatik, berdasar politik bebas aktif, paling tidak Indonesia tetap memiliki ruang kedaulatan sendiri," ujar Juwono.
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengemukakan, Amerika Serikat (AS) tidak perlu hadir secara berlebihan di Pasifik Barat, hingga menimbulkan persoalan dalam negeri masing-masing negara di kawasan tersebut terkait kebijakan pertahanan luar negeri melalui Proliferation Security Initiative (PSI). "AS sebaiknya berperan dalam peningkatan kemampuan (capacity building) masing-masing negara, untuk menggelar pasukan, kapal dan pesawat hingga pengamanan dan keamanan kawasan terpelihara tanpa harus diikuti kehadiran AS," katanya, di Jakarta, Kamis. Menhan Juwono mengemukakan, Indonesia dapat memahami AS yang meluncurkan Proliferation Security Initiative (PSI), pasca aksi teror `Black September` pada 2001. Namun, lanjut Juwono, AS harus menghormati dan memahami kedaulatan negara-negara lain, khususnya Pasifik Barat dan Asia Tenggara. "Seperti diketahui, ketentuan dalam PSI menyebutkan, AS berhak melakukan pencegahan terhadap setiap kapal, atau alat transportasi yang melewati Asia Tenggara dan Indonesia, yang diduga membawa senjata pemusnah massal," tuturnya. Hal itu, menurut Juwono, jelas-jelas melanggar prinsip kedaulatan, karenanya Indonesia masih akan mempertimbangkan kembali ajakan AS untuk bergabung dalam PSI. Saat ini, menurut dia, Indonesia sedang mempertimbangkan penerimaan terbatas atas ketentuan PSI itu dalam hal cakupan dan segi waktu. "Kami akan pertimbangkan lagi, dan akan dibahas bersama dengan Departemen Luar Negeri, dan hasil pertimbagan itu akan diserahkan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti apakah Indonesia akan bergabung atau tidak dalam PSI," ujarnya. Bagaimana pun sebagai negara besar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tetap ingin memiliki ruang kedaulatan meski terbatas, hingga dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa tekanan dari pihak asing. "Kekuatan politik, ekonomi dan militer AS memang tidak dapat dilawan secara terang-terangan, tetapi secara politik diplomatik, berdasar politik bebas aktif, paling tidak Indonesia tetap memiliki ruang kedaulatan sendiri," ujar Juwono. Karena itu, kalaupun akhirnya Pesiden memutuskan Indonesia bergabung dengan PSI, maka Indonesia menginginkan agar daya serta kemampuan TNI Angkatan Laut dan Udara RI ditingkatkan. "Sehingga kesepihakan AS untuk mencegah kapal dan pesawat yang diduga melintas di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dapat dikurangi," kata Juwono mengingatkan. Sementara itu pada April lalu, seusai kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice ke Jakarta, Juru Bicara Deplu Desra Percaya di Gedung Deplu Jakarta (17/3) mengatakan Menlu Hassan Wirajuda menolak permintaan AS agar Indonesia bergabung dengan PSI. "Dalam konteks hubungan bilateral, AS meminta Indonesia untuk bergabung dengan PSI tetapi Menlu dengan tegas menolak permintaan Menlu AS Condoleezza Rice untuk bergabung karena sedikitnya tiga alasan," kata Desra. Ketiga alasan itu masing-masing, pertama, Indonesia menganggap pelaksanaan PSI akan mengganggu kedaulatan Indonesia karena negara pihak dapat melakukan pemeriksaan atas kapal-kapal yang melalui perairan Indonesia, padahal Indonesia adalah negara kelautan. Kedua, PSI tidak dilakukan secara multilateral melainkan oleh kelompok negara. Sedangkan, ketiga PSI bertentangan dengan Konvensi Hukum Internasional. PSI adalah sebuah inisiatif untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah masal baik biologi, kimia maupun nuklir.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006