Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), baru-baru ini memberi peringatan bahwa tiga bulan ke depan, atau sekitar Agustus 2023, Indonesia bakal mengalami fenomena El Nino.

Secara sederhana El Nino berarti musim kemarau yang lebih kering dan lebih panjang dari biasanya pada daerah-daerah tertentu. Dengan kata lain, sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami kekeringan panjang karena berkurangnya intensitas curah hujan dan jumlah hari hujan.

​Namun, sebetulnya tidak semua daerah terdampak El Nino, sehingga pemerintah dan petani dapat mengoptimalkan daerah-daerah yang tidak terdampak.

Demikian pula tidak setiap El Nino menimbulkan dampak kekeringan yang sama. Tingkat kekeringan dipengaruhi oleh intensitas El Nino.

Informasi prediksi intensitas El Nino secara spasial yang telah dirilis oleh BMKG menjadi sangat penting untuk digunakan para pengambil kebijakan maupun pihak terkait yang bakal terdampak.

​Sektor pertanian, terutama tanaman pangan semusim, yang sangat mengandalkan air sebagai bahan baku pada proses fotosintesis tentu sangat terdampak dengan fenomena El Nino.

Maka dibutuhkan strategi jitu untuk mitigasi dan adaptasi dalam menghadapi El Nino agar dampaknya tidak mengakibatkan gagal panen yang dapat berujung pada krisis pangan.

Bentuk mitigasi dan adaptasi menghadapi El Nino juga berbeda untuk pertanian di lahan kering dengan pertanian di lahan rawa.

Masih ada waktu tiga bulan untuk mempersiapkan hal tersebut, meskipun di beberapa daerah gejala El Nino lemah sudah mulai terasa.


Mitigasi dan adaptasi

​Paling tidak ada tiga strategi mitigasi yang sangat mungkin untuk dilakukan di area pertanian lahan kering.

Pertama, memanen air hujan dengan membuat jebakan-jebakan air di lahan pertanian maupun di sekeliling lahan pertanian. Jebakan air dapat berupa cekungan, seperti embung, sumur, saluran, biopori, bahkan kolam, tergantung kondisi lanskap lahan pertanian dan jenis tanaman yang diusahakan.

Kedua, memberikan bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik bisa meningkatkan kemampuan tanah untuk memegang air, sehingga lahan tidak mudah kering.

Bahan organik sering dianggap kurang praktis diberikan ke dalam tanah karena membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga boros di sisi biaya pengangkutan dan biaya tenaga kerja saat aplikasi.

Anggapan itu benar jika tujuan menggunakan bahan organik untuk pemasok hara, tetapi tidak demikian jika tujuan menggunakan bahan organik sebagai pembenah tanah, seperti meningkatkan kapasitas memegang air. Bahan organik yang tersedia di daerah setempat dapat digunakan sebagai pembenah tanah.

Upaya menyediakan bahan organik yang paling mudah dan murah adalah dengan mengembalikan sisa biomassa yang tidak terangkut panen ke dalam tanah. Sebut saja jerami padi, jerami jagung, dan blotong tebu.

Bahan baku yang juga sering terlupakan adalah gulma yang tumbuh di lahan dan sekeliling lahan pertanian. Umumnya petani membabatnya lalu membuangnya ke luar lahan. Padahal biomassa gulma merupakan anugerah dari Tuhan sebagai bahan organik cuma-cuma.

Biomassa sisa panen, paprasan tanaman pinggir, tanaman penutup lahan dan gulma dapat disebar maupun ditumpuk memanjang di lahan tergantung tanaman utama yang diusahakan. Biomassa tersebut dapat berperan sebagai mulsa yang mencegah penguapan air dari permukaan tanah.

Dengan demikian kelembapan tanah dapat terjaga untuk menopang kehidupan tanaman utama. Biomassa saat dipergunakan sebagai mulsa mengalami proses dekomposisi biomassa, dan selama proses tersebut, mulsa biomasa berfungsi menyumbangkan air dari proses dekomposisi juga bermanfaat dalam menurunkan potensi pencucian hara.

Semua mafhum, seringkali pembuatan kompos di luar lahan yang tidak tepat membuat hara terbuang karena air lindi tercuci.

Ketiga, mengombinasikan pembuatan cekungan untuk jebakan air dengan pemberian bahan organik. Cekungan berupa saluran atau biopori digunakan untuk menampung biomassa sebagai bahan baku bahan organik.

Biomassa dibenamkan ke dalam saluran atau biopori untuk dibiarkan terdekomposisi. Kombinasi ini membuat air masuk ke dalam solum tanah dan bertahan lama di dalam solum tanah, sehingga tidak hilang melalui penguapan atau masuk terus ke luar solum tanah karena gaya gravitasi.

Upaya lain menghadapi El Nino, setelah mitigasi adalah adaptasi. Sebut saja pemilihan varietas tanaman tahan cekaman kekeringan atau pemilihan jenis maupun varietas tanaman berumur pendek.

Penggunaan saprodi budi daya yang tepat guna dapat juga menjadi pilihan, seperti aplikasi bahan organik sebagai pembenah tanah, dan penggunaan pupuk yang tepat waktu, jenis, cara, dan jumlah yang disesuaikan dengan ketersediaan air agar efektif dan efisien.

Pemupukan yang digabungkan dengan pengairan drip irrigation sangat berpotensi meningkatkan efisiensi air dan pupuk. Selain itu, pemupukan silika diketahui juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap cekaman abiotik, seperti kekeringan dan kegaraman (salinitas).

Demikian pula melakukan diversifikasi tanaman, multi-cropping, agar dapat meminimalkan risiko gagal panen total, serta dengan pengaturan pola tanam dengan mempercepat penanaman.

Tujuannya agar saat periode tanaman membutuhkan air yang tinggi masih dapat terpenuhi karena air masih tersedia.

Untuk antisipasi hal tersebut pemanfaatan sistem informasi akan sangat membantu dalam adaptasi, seperti Kalender Tanah (KATAM) yang dapat memberikan informasi ketersediaan air berdasarkan curah hujan dan waktu tanam yang tepat.


Peluang

​Sebaliknya, di lahan rawa, fenomena El Nino justru menguntungkan jika pada level pemerintah dapat memanfaatkan momentum. Ketika terjadi El Nino sebagian besar rawa lebak akan surut secara berangsur-angsur, sehingga area yang semula berupa perairan dapat diubah menjadi lahan pertanian.

Daerah yang sebagian besar merupakan lahan rawa, seperti di Kalimantan Selatan maupun Sumatera Selatan, dapat mengambil keuntungan jika jeli mengidentifikasi kabupaten-kabupaten yang berpeluang surplus pangan.

​Pemerintah kabupaten dapat mengoptimalkan tradisi petani setempat yang umumnya sudah mulai menyemaikan benih padi saat air mulai beranjak dangkal lalu menanamnya di saat yang tepat sesuai dengan umur benih dan kondisi air.

Kebutuhan air padi masih dapat terpenuhi karena meskipun air permukaan mengering tetapi kadar air tanah masih cukup lembap untuk menopang kehidupan tanaman. Kelak saat puncak kemarau padi sudah dapat dipanen.

​Pola tanam pada daerah dengan bentang rawa yang khas itu menjadikan rawa sebagai penopang defisit padi di musim kemarau. Dengan kata lain di saat pertanian lahan kering defisit panen, sebaliknya di daerah rawa terjadi surplus panen.

Pada konteks ini pemerintah idealnya dapat mengoptimalkan pertanian lahan rawa dalam menghadapi El Nino tahun ini. Di lahan rawa beragam komoditas pertanian selain padi juga dapat ditanam saat terjadi El Nino.

Komoditas seperti padi aphibi, jagung, ubi, kacang, semangka, tanaman horti umur pendek untuk dataran rendah, dapat menjadi pilihan pertanian lahan rawa di saat fenomena El Nino terjadi.

ke depan, El Nino harus dihadapi dan diadaptasi bersama oleh seluruh pemangku kepentingan terkait agar produksi pertanian minimal sama dengan tahun sebelumnya atau bahkan diharapkan meningkat.

Salah satunya dengan meningkatkan peran aktif penyuluh pertanian sebagai ujung tombak pertanian di daerah untuk mengedukasi petani agar siap menghadapi akan hadirnya fenomena El Nino dan mendampingi saat El Nino hadir.

Hal itu ditunjang dengan penyediaan bahan edukasi dan pendampingan, serta saprodi pendukung. Maka terwujudlah strategi jitu untuk menghadapi fenomena El Nino.

*) Dr. Ladiyani Retno Widowati, MSc. adalah Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Copyright © ANTARA 2023