Kebijakan pengelolaan sektor FOLU Indonesia sesungguhnya telah berubah dibanding masa lalu yang berdampak positif seperti menurunnya laju deforestasi
Jakarta (ANTARA) - Agenda Indonesia's FOLU Net Sink 2030 dinilai memperkuat implementasi pengelolaan hutan lestari dan perhutanan sosial, sehingga berdampak pada penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai bagian kontribusi RI untuk pengendalian perubahan iklim global.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu menjelaskan agenda Indonesia's FOLU Net Sink 2030 merupakan inisiasi Indonesia yang sejalan dengan Perjanjian Paris untuk mengendalikan bencana perubahan iklim.
Melalui agenda ini, ujarnya, pada side event bertajuk "Indonesia's FOLU Net Sink 2030: Strengthening the Implementation of Sustainable Forest Management and Social Forestry Program" pada sidang 18th Session of the United Nations Forum on Forests (UNFF18) di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Kamis (11/5/2023), sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) dirancang akan mencapai tingkat serapan karbon yang lebih tinggi dibandingkan emisinya.
"Dengan demikian, dapat berkontribusi sekitar 60 persen dari total target penurunan emisi GRK Indonesia pada tahun 2030 seperti tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)," ujar Agus, yang juga Ketua Delegasi RI pada sidang tersebut.
Sebagai sektor penyumbang terbesar pencapaian target NDC, tambahnya, sektor kehutanan Indonesia secara konsisten mendukung agenda FOLU Net Sink.
"Hal ini akan terus berlanjut dengan manfaat yang telah dirasakan dalam dua tahun terakhir antara lain penurunan emisi GRK yang signifikan hingga 43-47 persen," kata Agus.
Indonesia's FOLU Net Sink 2030 utamanya bersumber dari penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan termasuk akibat kebakaran hutan dan lahan, pembangunan hutan tanaman, pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan dan lahan termasuk restorasi ekosistem gambut dan mangrove, penguatan tata kelola gambut, serta konservasi sumberdaya hutan, dengan total investasi sebesar 14 miliar dolar Amerika Serikat.
Lebih lanjut, Agus menyampaikan implementasi agenda Indonesia's FOLU Net Sink 2030 akan dilaksanakan dengan penguatan dan pengembangan kemitraan dengan para pihak, dari tingkat tapak hingga internasional yang terbuka luas dan tidak hanya terbatas hanya untuk mengupayakan dukungan finansial.
Salah satu kemitraan internasional yang dikembangkan adalah aliansi IBC (Indonesia-Brazil-Congo) untuk pengelolaan gambut dan kemitraan mangrove internasional yang dimulai dengan Uni Emirat Arab dan India.
Senior Economist World Bank David Kaczan mengungkapkan World Bank Group sudah membuat dokumen kajian Country Climate and Development Report (CCDR) untuk Indonesia pada April 2023.
Dokumen tersebut menggambarkan bagaimana Indonesia dapat memastikan transisi yang terjangkau menjadi suatu perekonomian yang rendah karbon dan berketahanan iklim.
Kaczan menuturkan salah satu kunci dalam pembangunan Indonesia yang rendah karbon adalah agenda Indonesia's FOLU Net Sink.
"Kebijakan pengelolaan sektor FOLU Indonesia sesungguhnya telah berubah dibanding masa lalu yang berdampak positif seperti menurunnya laju deforestasi," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menekankan pentingnya mekanisme public-private partnership untuk mendukung suksesnya agenda Indonesia's FOLU Net Sink mengingat besarnya investasi yang dibutuhkan yang mencapai 14 miliar dolar AS.
Dukungan pembiayaan swasta bisa berupa investasi, hibah, obligasi hijau, pinjaman, CSR, dan lain-lain.
"Sektor swasta diharapkan bisa berkontribusi sebesar 55 persen atau sekitar 7,7 miliar dolar AS untuk investasi Indonesia's FOLU Net Sink," kata Indroyono.
Ia menyatakan pentingnya mengakselerasi pemanfaatan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) untuk mendorong investasi swasta.
Menurut dia, pemanfaatan nilai ekonomi karbon perlu dibuat sederhana dengan tetap memperhatikan instrumen seperti Sistem Registri Nasional (SRN) dan persetujuan pemerintah.
"Bursa karbon untuk pasar nasional maupun internasional yang terintegrasi dengan SRN untuk tingkat nasional maupun perlu diakselerasi," kata Indroyono.
Baca juga: KLHK genjot pemulihan daerah aliran sungai, mitigasi perubahan iklim
Baca juga: KLHK dorong percepatan implementasi kebijakan FOLU Net Sink
Baca juga: Indonesia paparkan strategi pengelolaan hutan lestari dalam sidang PBB
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2023