Paris (ANTARA News) - Prancis sudah menempatkan 1.400 prajurit di Mali, lebih dari separuh dari total 2.500 yang akan dikirim ke negara bekas jajahannya itu, kata Menteri Pertahanan Jean-Yves Le Drian, Kamis.

Pasukan itu dikirim ke negara Afrika Barat tersebut sebagai bagian dari operasi untuk membantu militer Mali menguasai lagi wilayah utara dari kelompok-kelompok garis keras.

Jumlah prajurit itu meningkat cepat sejak pasukan pertama Prancis tiba pada 11 Januari untuk menanggapi ofensif militan yang menguasai kota Konna, Mali tengah.

Hingga Kamis, militer Mali yang dibantu pasukan Prancis masih bertempur untuk berusaha menguasai lagi Konna.

Pasukan Prancis juga terlibat dalam pertempuran untuk memperebutkan kota Diabaly, yang berada di dalam wilayah yang dikendalikan pemerintah namun dikuasai oleh militan Senin dalam sebuah ofensif balasan setelah serangan-serangan udara pertama Prancis terhadap Konna.

Kelompok-kelompok militan yang sejak April menguasai Mali utara bergerak pekan lalu ke arah selatan ke wilayah yang dikuasai pemerintah dan merebut Konna, sekitar 700 kilometer melalui jalan darat dari Bamako, ibu kota Mali, yang membuat Prancis segera melakukan intervensi.

Meski militer Mali sebelumnya melaporkan mereka telah merebut kembali Konna, Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan Selasa bahwa zona itu masih dikuasai militan garis keras.

Daerah itu tidak bisa dijangkau oleh pengamat independen.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, Jumat meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Rencana-rencana sedang dirampungkan untuk mengirim pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit untuk mengusir militan yang menguasai wilayah utara Mali, namun PBB masih berkeberatan dan memperingatkan bahwa penempatan itu mungkin baru bisa dilakukan September mendatang.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.

Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara.

Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.

Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia.

Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.

Mali pada 1 Juli mendesak PBB mengambil tindakan setelah kelompok garis keras menghancurkan tempat-tempat keramat di Timbuktu yang didaftar badan dunia itu sebagai kota yang terancam punah.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja, demikian AFP.

(M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013