Jakarta (ANTARA) - Psikolog anak dan parenting coach Irma Gustiana A, S.Psi., M.Psi mengatakan terapi kepada anak berkebutuhan khusus yang memiliki alergi perlu dilakukan minimal hingga usia sembilan tahun.

Baca juga: KGSB dorong guru terapkan ajaran inklusif anak berkebutuhan khusus

Sebab, pada usia delapan sampai sembilan tahun anak akan mengalami perubahan hormonal. Sehingga ketika ada transisi dari anak-anak menuju pra-remaja, kondisi ini tetap dalam kontrol profesional, kata Irma yang merupakan lulusan Universitas Indonesia tersebut.

“Biasanya memang anak-anak ABK itu ada alerginya. Jadi memang tubuhnya sangat sensitif. Oleh karena itu, terapi itu penting bagi mereka hingga minimal 9 tahun. Anak-anak seperti ini butuh pengawasan yang terus menerus sampai nanti mereka bisa bertoleransi,” kata Irma saat dijumpai di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu.

“Toleransi itu bukan hanya tentang apa yang dia makan. Tetapi juga terhadap lingkungan. Dia bisa adjust atau enggak. Kenapa dia harus diterapi? Karena itu akan membuat dia bisa beradaptasi sama lingkungannya,” imbuhnya.

Selanjutnya, Irma menganjurkan agar orang tua tetap menyekolahkan anak tersebut di sekolah yang sesuai. Selain itu, penting juga bagi orang tua untuk memenuhi nutrisi anak dan mengelola emosi dalam menghadapi buah hati yang memiliki kebutuhan khusus.

Baca juga: Dosen UNJ: Lingkungan belajar yang inklusif miliki banyak manfaat

Akan tetapi, Irma juga mengingatkan agar orang tua tetap menjaga anak dari paparan hal-hal yang memicu alergi pada anak terlebih apabila reaksinya cukup berat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan tidak menunjukkannya di hadapan sang anak.

“Jangan sampai anak itu melihat ada makanan yang memicu dia alergi misalnya coklat. Karena jika dia sudah melihat secara visual, dia pasti ada keinginan. Kalau nggak dipenuhi, kecenderungannya memang akan menunjukkan perilaku yang negatif. Jadi emosinya nggak stabil, tantrum dan lain-lain,” kata Irma.

“Jadi untuk meminimalisir kondisi, kalau perlu itu jangan diperlihatkan kepada anak. Nah kalau sudah sekolah dan dia misal lihat temannya makan itu, itu akan jadi challenge banget. Biasanya kalau sudah sekolah, itu umumnya tumbuh kembangnya sudah ada perkembangan. Sehingga ada beberapa yang sudah bisa diberikan penjelasan,” lanjutnya.

Selain itu, membiasakan anak membawa bekal ke sekolah juga dapat membantu. Dengan demikian, anak lebih terbiasa untuk mengonsumsi bekal dan tidak akan tertarik dengan yang bukan menjadi kebiasaannya.


Baca juga: TransJakarta ajak anak berkebutuhan khusus melukis mural di bus

Baca juga: Empat rahasia neurosains agar anak cepat dalam belajar

Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023