Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa sebanyak 57,5 persen pasien asma di Indonesia masih berisiko mengalami serangan asma berdasarkan data yang dihimpun dalam Riskesdas tahun 2018.
“Kita harus bergandengan tangan sehingga masyarakat bisa lebih kuat dan meningkatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Eva Susanti dalam Talkshow Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Eva menuturkan salah satu penyebab tingginya angka tersebut adalah karena sebesar 37 persen pasien asma di Indonesia, diresepkan inhaler pelega Short-Acting Beta-Agonist (SABA) sekitar tiga kanister per tahun, di mana jumlah resep tersebut justru dapat meningkatkan risiko serangan asma yang lebih parah berdasarkan studi SABINA (SABA Use in Asthma).
Hal tersebut dibenarkan oleh laporan strategi dari Global Initiative for Asthma (GINA) pada tahun 2019-2022, yang menyatakan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin bahkan hanya dalam satu atau dua minggu, justru kurang efektif dan menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran napas, serta dapat mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan.
“Ketika pasien asma terlalu bergantung pada inhaler pelega SABA, mereka berisiko tinggi mengalami serangan asma, dirawat di rumah sakit, dan dalam beberapa kasus mengalami kematian,” ujarnya.
Menurutnya para ahli asma percaya bahwa "paradoks asma" merupakan faktor penting dalam tantangan penanganan asma, di mana ketergantungan yang berlebihan terhadap inhaler pelega SABA telah dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit karena telah menjadi lini pertama terapi asma selama lebih dari 50 tahun.
Oleh karenanya selain menganjurkan pasien asma untuk mendapatkan pengobatan yang mengandung ICS (antiradang/anti inflamasi) seperti kombinasi ICS-Formoterol untuk mengurangi risiko serangan asma, Eva menyatakan Kemenkes terus berupaya melakukan transformasi pada sistem kesehatan Indonesia.
Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat yang sehat, produktif, mandiri dan berkeadilan. Menurutnya dengan adanya sistem transformasi kesehatan, penyakit tidak menular seperti asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), kanker, penyakit metabolik, jantung hingga diabetes bisa dideteksi dengan lebih banyak dan cepat ditemukan.
Termasuk meningkatkan sistem big data yang lebih baik dan meningkatkan sumber daya tenaga kesehatannya.
Sambil meningkatkan mutu teknis penanganan pada pasien asma, Eva mengatakan keterlibatan pihak swasta dalam mensosialisasikan terkait pengobatan yang baik bagi penderita asma, agar bisa meningkatkan kehidupan pasien yang lebih produktif, sehat dan berkeadilan.
“Kampanye stop ketergantungan merupakan langkah penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempromosikan kualitas hidup yang sehat bagi para penyandang asma. Kami berharap kampanye ini dapat membantu sebanyak mungkin pasien asma di Indonesia untuk menjaga kualitas hidup yang lebih baik,” katanya.
Baca juga: PDPI: Inhaler SABA sudah tidak direkomendasikan bagi pasien asma
Baca juga: Kemenkes dukung swasta tingkatkan kesadaran masyarakat tentang asma
Baca juga: PDPI: Asma belum bisa disembuhkan dan dapat menimpa semua usia
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023