Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Paru RSPI Sulianti Saroso Jakarta Faisal Rizal Matondang meminta masyarakat untuk tidak salah menerjemahkan pernyataan Badan Kesehatan Dunia (WHO) soal pencabutan status kedaruratan pandemi COVID-19.
“Pernyataan dari WHO yang kemarin keluar adalah pencabutan ketentuan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency International of Concern/PHEIC) dari COVID-19, bukan dicabutnya status pandemi,” kata Faisal dalam Siaran Sehat yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Faisal mengimbau kepada masyarakat untuk mencermati kata tiap kata yang disampaikan WHO, sehingga tidak memicu terjadinya kesalahpahaman yang berujung pada pengabaian situasi sehingga kasus positif kembali naik.
Sebab pencabutan PHEIC artinya penanganan pandemi COVID-19 tidak lagi berstatus kedaruratan. Biasanya, pengumuman ini disampaikan WHO sebagai pemegang otoritas tertinggi pengambil keputusan, ketika melihat indikator penanganan dari sebuah penyakit sudah terkendali.
Dalam hal ini misalnya kasus positif yang cenderung terkendali, tren kematian yang menurun dan meningkatnya angka kesembuhan karena imunitas sudah terbentuk lebih baik berkat pemberian vaksin.
“Walaupun status kedaruratannya dicabut, bukan berarti COVID-19 ini hilang, pandemi selesai. Justru harus tetap kita waspadai karena (penularannya) masih terus ada,” katanya.
Berbeda dengan pencabutan status pandemi, Faisal menjelaskan jika status pandemi dicabut, itu artinya pemerintah memutuskan bersiap memasuki masa endemi karena penyakit itu tidak lagi tersebar di seluruh dunia, tetapi hanya di beberapa wilayah atau negara saja.
“Jadi di situ letak perbedaannya. Mohon dipahami bahwa saat ini pandemi masih ada, tapi yang dicabut hanya status kedaruratannya saja,” ujarnya.
Menurutnya pemerintah juga sedang menyiapkan kebijakan-kebijakan yang telah disesuaikan dengan situasi saat ini, setelah mendengar keputusan WHO tersebut.
Oleh karenanya sambil menunggu pemerintah mengeluarkan keputusan untuk mencabut status pandemi, Faisal meminta masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan tetap menjauhi kerumunan.
Apalagi sampai hari ini masih banyak kelompok rentan yang belum bisa divaksinasi atau memiliki pemberat, sehingga setiap pihak harus terus waspada terhadap infeksi penularan.
“Kadang komorbid akan memperberat kondisi seseorang kalau dia punya COVID-19. Jadi tetap melaksanakan protokol kesehatan dan kita tunggu regulasi-regulasi (yang akan dikeluarkan) dari pemerintah,” katanya.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril juga mengatakan belum dapat memastikan kapan status pandemi COVID-19 di Indonesia akan diakhiri, meski kedaruratan kesehatan global telah dicabut oleh WHO.
"Kapan pandemi selesai? Tidak ada batasan jelas terkait selesainya pandemi. WHO pun tidak bisa menjawab itu, sehingga sulit memperkirakan dan menentukannya," katanya.
Syahril mengatakan yang dicabut oleh WHO pada 5 Mei 2023 adalah PHEIC, karena situasi tersebut menandakan pandemi COVID-19 global secara umum telah terkendali, namun angka kasus akan tetap berfluktuasi.
"Yang penting sekarang, kita sudah lalui masa terberat pandemi dengan melihat indikator angka kasus, kematian, perawatan dan positivity rate," katanya.
Baca juga: Dokter RSPI: Vaksinasi penting atasi sirkulasi varian baru COVID-19
Baca juga: Satgas COVID: Kasus positif di Indonesia bertambah 1.902 pada 9 Mei
Baca juga: MPR minta Kemenkes menindaklanjuti pencabutan status darurat COVID-19
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023