Surabaya (ANTARA) - "Saya siap dipanggil Syuriah (jajaran ulama senior dalam kepengurusan NU) untuk memusyawarahkan bagaimana baiknya PC NU Kota Surabaya," kata salah seorang pengurus utama PCNU Kota Surabaya nonaktif.
Namun, harapan itu justru direspons dengan SK Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Nomor 203/PB.01/A.II.01.45/99/04/2023 tentang Susunan Kepengurusan Definitif Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya Masa Khidmat 2023-2024 yang dilantik jajaran syuriah tertinggi di PBNU, dan "meminggirkan" nama salah seorang pengurus tersebut.
Akhirnya, kepengurusan NU di tingkat cabang (PCNU) itu pun menjadi gaduh. Biasanya, kegaduhan dalam berbagai bidang bisa saja terjadi bila terkait dengan politik, baik politik legislatif maupun politik eksekutif, apalagi bila mendekati hajatan politik skala besar, seperti Pemilu 2024.
Buktinya, kegaduhan berlanjut, ada saja yang merasa dicatut namanya dalam kepengurusan itu. "Kami hanya mau menjadi pengurus NU berdasarkan amanah dari warga NU melalui ranting dan MWC dalam konferensi cabang, dan itu sudah terjadi 2 tahun lalu. Itulah yang konstitusional," kata K.H. Mas Mansur Tolchah.
Namun, ada juga "pengurus" yang tidak menolak pencantuman namanya, karena pertimbangan amanah. "Di NU itu, amanah (jabatan) jangan diminta, tapi kalau diberi juga jangan ditolak," kata salah satu pengurus Syuriah dalam jajaran kepengurusan PCNU Surabaya definitif itu yang enggan disebut namanya.
Sebelumnya, Wakil Sekjen PBNU H.M. Imron Rosyadi Hamid menegaskan bahwa SK 203/PB.01/A.II.01.45/99/04/2023 tentang Susunan Kepengurusan Definitif PCNU Surabaya Masa Khidmat 2023—2024 sudah sah dan sesuai peraturan.
Jadi, keputusan PBNU itu sudah sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama dan Peraturan PBNU No 2/XII/ 2022 sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Menurut PBNU, persoalan PCNU Kota Surabaya berawal dari Surat PWNU Jawa Timur No. 868/PW/A.II/L/III/2021 tanggal 2 Syakban 1442/16 Maret 2021 tentang Pelanggaran Penyelenggaraan Konferensi Cabang NU Kota Surabaya tanggal 6 Maret 2021.
Selain itu, juga berdasarkan rapat gabungan Syuriah dan Tanfiziah PWNU Jawa Timur pada tanggal 10 dan 13 Maret 2021 yang menyatakan bahwa Konferensi NU Kota Surabaya tersebut tidak sah dan mengusulkan kepada PBNU agar menata ulang Konferensi Cabang Kota Surabaya.
Walhasil, PBNU mengambil keputusan berdasarkan Surat PWNU Jawa Timur kepada PBNU yang ditandatangani K.H. Anwar Manshur (Rois), Drs. K.H. Syafrudin Syarif (Katib), K.H. Marzuki Mustamar (Ketua), dan Prof. Dr. Akh. Muzakki, Mag, Ph.D, meski keputusan PBNU itu tetap saja ada yang menyoal.
Keputusan PBNU itu tetap saja disoal, karena PCNU Kota Surabaya era 2015-2020 yang mengusung tagline "NU Urban" dianggap tidak bermasalah dan justru memperlihatkan kemajuan yang berarti dalam konsolidasi struktural dan jamaah, serta perhatiannya pada masalah-masalah sosial dan kebijakan terkait warga kota.
Pengurus utama PC NU Kota Surabaya nonaktif itu justru sangat pas dengan Ketua Umum PBNU yang menghindari kooptasi partai. Dia mengaku tidak memegang kepengurusan juga tidak masalah, asal struktur di bawah jangan dirusak.
Faktanya, PBNU menyetujui dengan mengeluarkan SK perpanjangan 4 bulan, lalu SK Caretaker Jilid I dan berlangsung Konferensi Cabang oleh Caretaker pada 6 Maret 2021 dengan memilih lima orang AHWA. Akhirnya, AHWA bersidang dan memutuskan KH. Mas Sulaiman sebagai Rais Syuriyah.
Masalahnya, suara untuk Tanfidziyah diduga kurang demokratis, sehingga PWNU Jatim tidak mengeluarkan rekomendasi dan PWNU Jatim pun mengajukan keberatan kepada PBNU. Keberatan inilah yang menjadi landasan PBNU mengeluarkan SK caretaker dan SK definitif. Alasan PWNU Jatim mengajukan adalah konferensi tidak dipimpin oleh PWNU.
"Politisasi" NU
Menjelang muktamar NU 2022 membuat masalah PCNU Surabaya menjadi terbengkalai. Panitia Muktamar mengundang secara resmi PCNU Surabaya untuk menjadi peserta Muktamar, namun di lokasi muktamar justru kepesertaan PCNU Surabaya dianulir, sehingga tidak dapat memberikan hak suara.
PBNU akhirnya mengeluarkan SK Caretaker Jilid-2 yang SK-nya diperpanjang dua kali, namun tidak berhasil melaksanakan konferensi, hingga 21 April 2023 pun PBNU melantik kepengurusan baru yang dinyatakan sebagai kepengurusan definitif dengan SK 203/PB.01/A.II.01.45/99/04/2023 dan masa khidmat terbatas 2023-2024.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H.M Imron Rosyadi Hamid mengakui itu sudah sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama dan Peraturan PBNU No 2/XII/ 2022, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Sementara itu, pengurus utama PC NU Kota Surabaya nonaktif menegaskan bahwa sejak awal memang sudah terjadi saling lempar perkara dan berbau konspiratif.
Agaknya, kepengurusan dengan versi apapun, kegaduhan di lingkungan NU itu seringkali berseiring dengan posisi tawar NU yang memiliki massa lebih dari 50 persen warga negara ini, sehingga NU yang bukan parpol tetap memiliki nilai tawar politis yang tinggi.
Terlepas dari kegaduhan kepengurusan di PCNU Surabaya, agaknya kegaduhan juga terjadi dalam tubuh NU secara nasional, apakah kegaduhan akibat "politisasi" NU oleh legislatif, oleh eksekutif, atau tarik-menarik oleh "ketua" parpol.
Bahkan, Direktur Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (LAKSNU) Gugus Joko Wakito menilai sosok tokoh dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) saat ini kurang mendapat perhatian untuk menempati posisi bakal calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Gugus menilai sedikit aneh dalam pemilu kali ini adalah tokoh dari kalangan Nahdliyyin sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia tak ramai diperbincangkan seperti pemilu-pemilu sebelumnya.
Padahal, ia menyebut banyak tokoh NU yang mampu disandingkan dengan beberapa kandidat bakal calon presiden (capres) yang sudah ada, seperti Muhaimin Iskandar yang partisan, sedangkan nonpartai ada Mahfud MD, Ketua Umum PP Muslimat NU/Gubernur Jawa Timur) Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum GP Ansor/Menteri Agama RI Gus Yaqut dan Menteri Erick Thohir yang masih "baru" masuk NU.
Menurut dia, keberadaan tokoh NU sangatlah penting dalam kontestasi politik karena diyakini dapat mendulang suara yang besar pada Pemilu 2024.
Hal itu dinilai sangat penting, karena basis suara NU, khususnya yang ada di Jawa, akan menjadi ceruk suara yang besar dan sangat berpengaruh dalam kemenangan pilpres.
Namun, upaya mendorong NU masuk ke pusaran politik praktis menjelang Pemilu 2024 itu agaknya diharapkan bermula dari parpol, bukan bermula dari usulan NU, mengingat NU memang bukan parpol, kendati NU pun berhak melontarkan seruan moral untuk politik yang demokratis.
Bahkan, Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar saat bersilaturahim ke kediaman Wakil Presiden (Wapres) RI KH Ma'ruf Amin di Jakarta (8/5/2023) membahas komitmen untuk menjaga umat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Kiai Miftah dan Kiai Ma'ruf berdiskusi bagaimana membangun umat ke depan supaya tetap tenang dan tetap teduh, menjaga Islam wasathiyah (moderat) dengan baik, sehingga tidak terpengaruh oleh apa pun, juga tidak terpengaruh oleh suasana politik yang mungkin ke depan akan hangat. Itu menjadi komitmen mereka berdua yang dibicarakan secara berlama-lama.
NU bukanlah parpol, kendati demikian NU berhak melontarkan seruan moral untuk politik yang demokratis, karena itu upaya mendorong NU masuk ke pusaran politik praktis menjelang Pemilu 2024 diharapkan proporsional.
Copyright © ANTARA 2023