Jakarta (ANTARA News) - Tarif multiguna yang diterapkan PLN menghambat ekspansi sekitar 10 industri di dalam negeri, karena tarifnya mahal sehingga menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi.
Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Deperin Anshari Bukhari di Jakarta, Selasa, mengatakan sekitar 10 industri logam dan tekstil telah meminta ijin perluasan pabrik, namun untuk itu mereka kena tarif multiguna.
"Itu yang menjadi kendala utama mereka melakukan ekspansi," ujar Anshari.
Ia mencontohkan produsen besi baja PT Smelting di Jawa Timur ingin ekspansi pada Juni atau Juli 2006, tapi harus memasang listrik baru dengan tarif multiguna yang jauh lebih mahal.
Sebagai gambaran, katanya, tarif normal PLN Rp450 per Kwh, sedangkan tarif multiguna Rp 1.350 per Kwh.
Deperin sendiri, lanjut dia, telah berupaya memfasilitasi pertemuan PLN dengan kalangan industri tersebut, karena tarif multiguna merupakan upaya PLN untuk menekan pemakaian listrik karena kapasitasnya terbatas.
"PLN menyampaikan sedang menjajaki. Selama komitmen utamanya penggunaan tidak di beban puncak, PLN akan mencoba memberikan kalkulasi harga yang murah," katanya.
Tapi kalau masuk di beban puncak yakni jam 17.00 sampai 22.00,
lanjutnya, maka PLN kesulitan untuk memberikan harga murah. Tarif multiguna sendiri berlaku sejak Oktober 2005 dan berlaku secara nasional.
Sementara itu, menanggapi hal itu Menperin Fahmi Idris yakin tarif yang tinggi melalui tarif multiguna tersebut akan dihapus bila kemampuan pasokan listrik PLN meningkat pesat.
"Pemecahan yang paling mendasar adalah pembangunan pembangkit listrik yang 10 ribu megawatt itu. Kalau belum dibangun, ya tetap saja, pasokan kurang tapi kebutuhan tinggi, maka harga tinggi," katanya.
Ia mengatakan bila rencana pembangunan PLTU berbasis batu bara sebesar 10 ribu megawatt jalan dan beroperasi maka ada perubahan mendasar dalam tiga hal, yaitu kuantitas dan kualitas akan lebih baik, serta harga listrik akan lebih murah.
"Selama ini kerap ada keluhan di jam-jam tertentu kualitas pasokan listrik memburuk," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006