Jakarta (ANTARA) - Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) mengajak para orang tua untuk segera melengkapi imunisasi anak yang tertinggal tanpa harus mengulang kembali dari awal.
"Kalau yang belum lengkap, misalnya ketinggalan, baru sampai imunisasi 2 bulan. Silakan dilengkapi saja. Tidak perlu diulang dari awal. Jadi istilah populernya, tidak ada imunisasi yang hangus," kata Hartono dalam acara Pekan Imunisasi Dunia 2023 di Jakarta, Senin.
Pada prinsipnya, seluruh imunisasi dapat dikejar kecuali imunisasi rotavirus dengan dosis yang harus diberikan secara tepat waktu. Apabila diberikan di luar jadwal, vaksin rotavirus dikhawatirkan menimbulkan efek samping yang meningkat.
"Untuk vaksin yang lain, kalau ketinggalan, kita bisa kejar kapanpun. Tapi kalau untuk rotavirus ada umur maksimalnya," ujar Hartono.
Baca juga: IDAI: 2.500 bayi yang lahir di Indonesia berpotensi terkena thalasemia
Dia mengatakan imunisasi kejar dapat dilakukan dengan pemberian beberapa jenis vaksin atau imunisasi ganda dalam satu waktu. Sebagai contoh, suntikan bisa dilakukan pada bagian paha kanan-kiri masing-masing satu kali atau dua suntikan pada paha kanan dan satu kali pada paha kiri. Pastikan pula ada jarak suntik sekitar 2,5 cm.
"Suntikan ganda ini terbukti aman, telah dilakukan di berbagai negara di dunia, bahkan ada yang sampai lima suntikan sekaligus," ujar Hartono.
Selain terbukti aman, dia menambahkan bahwa suntikan ganda juga efektif dilakukan sebab orang tua dan anak tidak perlu bolak-balik ke layanan imunisasi. Sekali datang ke layanan kesehatan, anak dapat terlindung dari berbagai penyakit sekaligus.
Kelengkapan imunisasi anak perlu diperhatikan orang tua, apalagi saat ini kondisi darurat pandemi COVID-19 sudah lewat dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sudah dilonggarkan sehingga muncul risiko berbagai penyakit melalui transmisi antar-anak saat mereka kembali ke sekolah.
"Dan itu merupakan faktor risiko untuk terjangkitnya kejadian luar biasa (KLB) kalau tidak lengkap imunisasinya. Jadi perlu dilengkapi," ujar Hartono.
"Lengkapinya bagaimana? Lihat saja buku kesehatan ibu dan anak (KIA) masing-masing. Kalau ada yang kurang, tolong dibawa ke puskesmas, posyandu, atau rumah sakit, agar dilengkapi," imbuh dia.
Kondisi pandemi COVID-19 telah mendorong penurunan cakupan imunisasi dasar dari 93,7 persen pada 2019 menjadi 84,5 persen pada 2021, menurut catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Cakupan imunisasi mulai meningkat menjadi 99,6 persen pada 2022, namun Kemenkes mencatat bahwa cakupan tidak merata di setiap wilayah di Indonesia.
Hartono pun mengingatkan bahwa cakupan imunisasi dasar perlu dipastikan pemerataannya di setiap wilayah di Indonesia. Hal ini guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
"Cakupan itu harus merata, tidak ada kantung-kantung yang dengan anak-anak yang tidak diimunisasi. Karena pada saat ada kantung-kantung dengan banyak anak yang tidak diimunisasi, PPKM dicabut, anak sekolah kembali, maka di situ bisa terjadi transmisi. Jadi itu yang perlu diwaspadai," kata Hartono.
Baca juga: IDAI: Masih banyak anak terjangkit campak di Jatim
Baca juga: IDAI: Persediaan darah untuk penderita thalasemia alami keterbatasan
Baca juga: IDAI sebut penyakit thalasemia pengaruhi psikososial anak
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023