Jakarta (ANTARA News) - Pengamat perbankan Ryan Kiryanto mengatakan perbankan tidak harus mengacu pada tingkat suku bunga BI (BI rate) untuk menurunkan suku bunganya. "Bank-bank bisa menurunkan suku bunga dana dan kreditnya tanpa harus mengacu kepada BI rate. Mestinya, semakin efisien bank, suku bunga makin rendah. Jadi suku bunga bank bukan tergantung posisi BI rate," katanya di Jakarta, Selasa. Ryan menyatakan hal ini menanggapi keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang mempertahankan BI rate pada level 12,50 persen. Menurut Ryan, dengan tidak turunnya BI rate bulan ini, tentu mengecewakan pelaku sektor riil, namun hal itu bisa diatasi oleh pelaku usaha dengan mengefisienkan operasionalnya di tengah suku bunga masih tinggi. Dikatakannya, keputusan BI untuk tidak menurunkan BI rate kali ini cukup beralasan, karena meski tren inflasi menurun, namun BI harus mempertimbangkan beberapa perkembangan makro ekonomi yang terjadi seperti lonjakan harga minyak dunia yang mencapai 73 dolar AS barel. Juga kemungkinan The Fed naikkan suku bunga lagi di atas 5 persen hingga tahun ini, nilai tukar rupiah yang sedang berada pada posisi tertekan dan tidak menguntungkan, serta melihat kecenderungan inflasi Juni 2006 yang mungkin naik karena musibah di Yogyakarta dan Jateng. Menurut Ryan, level BI rate saat ini masih moderat, sehingga jika pada Juni ini inflasi turun lagi maka diperkirakan BI rate bisa diturunkan 25-50 basis poin. Sebelumnya, dalam RDG yang dilakukan Selasa ini, BI menilai kondisi perekonomian dalam dan luar negeri saat ini memiliki resiko yang cukup tinggi sehingga BI rate tidak diturunkan lagi. "Ke depan, jika hasil asesmen menyeluruh terhadap prospek ekonomi menunjukan bahwa resiko tersebut telah berkurang, maka penurunan suku bunga BI Rate lebih lanjut dapat dilakukan," kata Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI, Budi Mulya. Bulan Mei lalu, BI menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin dari 12,75 persen menjadi 12,50 persen. BI menyebutkan, pada bulan Mei 2006, tekanan terhadap kestabilan makroekonomi meningkat terutama dipicu oleh penyesuaian portofolio milik asing sebagai respon terhadap kemungkinan berlanjutnya kebijakan moneter ketat global, khususnya oleh bank sentral AS, The Fed. Di Indonesia, perilaku asing tersebut tercermin pada terjadinya aliran modal keluar dalam jumlah yang cukup besar sehingga memberikan tekanan yang signifikan terhadap nilai tukar Rupiah. Rupiah yang pada periode sebelumnya berada dalam kecenderungan menguat, pada Mei mengalami depresiasi sebesar 5,09 persen ("month to month"/mtm). Hasil asesmen menunjukkan bahwa perkembangan tersebut belum memberikan tekanan yang besar terhadap inflasi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006