Skema ini merupakan alternatif atas skema sertifikasi pihak ketiga yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan, biaya yang mahal, rumit dan sulit untuk diterapkan oleh produsen skala kecil,"

Bogor (ANTARA News) - Sejumlah pemangku kepentingan di Indonesia sedang melakukan inisiasi pembuatan skema sertifikasi rotan lestari di tingkat kabupaten.

"Skema ini merupakan alternatif atas skema sertifikasi pihak ketiga yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan, biaya yang mahal, rumit dan sulit untuk diterapkan oleh produsen skala kecil," kata Gladi Hardiyanto dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) di Bogor, Jawa Barat, Jumat.

Gladi Hardiyanto, yang sedang mengikuti lokakarya "Skema dan Sistem Sertifikasi Rotan Lestari" di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, menjelaskan, parapihak terkait itu berasal dari berbagai unsur.

Di antaranya adalah LEI, NTFP EP Indonesia, Sejahtera Semesta Rakyat (Setara), CIFOR, AOI, Yayasan Rotan Indonesia dan KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan).

Parapihak tersebut, kata dia, menginisiasi skema PGS (Participatory Guarantee System), atau skema penjaminan partisipatif untuk sertifikasi rotan lestari Indonesia yang telah dimulai prosesnya sejak awal tahun 2012.

Ia menjelaskan, proses lokakarya awal, observasi lapangan ke Kabupaten Kutai Barat, Kaltim dan Katingan, Kalteng, serta diskusi dengan para pihak (WWF Kalimantan Timur, Dinas Kehutanan dan Dinas Perindustria, Perdagangan dan Koperasi Kutai Barat) telah dilakukan sejak bulan Februari-Desember 2012.

"Proses-proses ini kemudian menghasilkan satu dokumen gagasan tentang Skema Sertifikasi Rotan Lestari Indonesia," katanya.

Dikemukakannya bahwa lokakarya yang dilaksanakan itu dalam rangka menguji kembali apakah gagasan tersebut cukup sesuai untuk dilaksanakan dalam kontek kabupaten.

Kritik

Secara umum, kata dia, sebagian skema sertifikasi ekososial yang berkembang dan beroperasi di Indonesia saat ini adalah skema sertifikasi pihak ketiga yang saat ini mendapatkan kritik dari gerakan masyarakat sosial, terutama kelompok-kelompok yang mencoba memahami kondisi-kondisi produsen skala kecil.

Beberapa poin kritik tersebut, di antaranya bahwa sistem sertifikasi pihak ketiga tersebut sistemnya rumit dan prosedur panjang, biaya tetap mahal, dan orientasi pasar ekspor (negara maju),

Ia menjelaskan, sistem itu dibangun oleh pihak lain (negara maju) yang tidak partisipatif dan adaptif secara lokal.

"Petani atau produsen dituntut mengikuti sistem yang berlaku secara internasional," katanya.

Sementara itu, diyakini bahwa kondisi petani-petani/produsen-produse skala kecil akan kesulitan untuk mengakses dan mengikuti skema tersebut.

"Berangkat dari itu, lahirlah inisiatif skema penjaminan partisipatif yang di lingkup internasional dikenal dengan PGS (Participatory Guarantee System)," katanya.

Rotan sudah sejak lama dikenal sebagai komoditas hasil hutan non-kayu yang penting dan sangat potensial di Indonesia.

Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, di mana diperkirakan 80 persen bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia.

Sisanya dihasilkan oleh negara lain seperti Filipina, Vietnam dan negara Asia lainnya.

Daerah penghasil rotan Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua dengan potensi rotan Indonesia sekitar 622.000 ton/tahun. Dari potensi ini, diperkirakan terdapat 4,5 juta orang terlibat di industri dasar rotan.

(A035/M019)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013