Setiap pemerintah kabupaten/kota di Malut memiliki strategi tersendiri membebaskan daerahnya dari anak putus sekolah,
Ternate (ANTARA) - Semangat untuk mewujudkan cita-cita ikut seleksi penerimaan anggota TNI AD setelah tamat SMA terus bergelora dalam diri Rahman setelah tahun 2021 ia kembali melanjutkan SMP di Kota Ternate, Maluku Utara.
Anak tunggal dari ayah buruh bangunan dan ibu pedagang kue keliling yang tinggal di pinggiran Kota Ternate itu, sempat mengubur cita-citanya ikut seleksi anggota TNI-AD.
Pasalnya, setelah tamat SD tahun 2020 ia putus sekolah akibat ketidakmampuan orang tua membiayainya melanjutkan ke SMP.
Banyak anak putus sekolah di Malut, yang kini kembali sekolah seperti Rahman setelah pemerintah provinsi dan seluruh pemerintah kabupaten/kota di Malut melakukan berbagai upaya membebaskan daerah ini dari anak putus sekolah.
Tidak ada data resmi jumlah anak sekolah di Malut, baik yang telah bersekolah kembali maupun yang masih putus sekolah, tetapi kalangan pemerhati pendidikan di provinsi kepulauan ini memperkirakan mencapai ribuan anak.
Penyebab anak putus sekolah di provinsi berpenduduk 1,4 juta jiwa ini, antara lain, karena keterbatasan ekonomi orang tua, terutama saat adanya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan banyak warga kehilangan sumber pendapatan.
Selain itu, juga karena letak sekolah lanjutan, baik untuk jenjang SMP maupun SMA, jauh dari tempat tinggal anak, terutama yang berada di pulau-pulau kecil dan daerah terpencil, yang akses transportasinya cukup sulit dan membutuhkan biaya besar.
Seperti diakui salah seorang warga Pulau Tawabi, Kabupaten Halmahera Selatan, Ahmad Dedi Muale, bahwa sebagian anak lulusan SD di Pulau Kecil itu tidak melanjutkan sekolah ke SMP karena letak SMP terdekat berada di kota Labuha.
Sarana transportasi dari Pulau Tawabi ke Labuha atau sebaliknya menggunakan perahu motor dengan tarif Rp50 ribu atau Rp100 ribu pergi pulang dan tarif sebesar itu sulit dijangkau masyarakat Pulau Tawabi jika menyekolahkan anaknya di Labuha.
Bagi warga Pulau Tawabi yang memiliki kerabat di Labuha, bisa menitipkan anaknya kepada kerabat itu untuk melanjutkan sekolah di SMP Labuha. Akan tetapi bagi yang tidak memiliki kerabat terpaksa membiarkan anaknya putus sekolah dan menunggu ada kesempatan ujian penyetaraan Paket B.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan pemerintah kabupaten/kota lainnya di Malut berupaya mengatasi kesulitan yang dialami anak lulusan SD di Pulau Tawabi itu dengan membangun Sekolah Terpadu Satu Atap yakni menggabungkan SD dan SMP. Akan tetapi karena keterbatasan anggaran sehingga belum dapat direalisasikan di seluruh pulau kecil dan daerah terpencil.
Partisipasi dari pihak lain di Malut seperti dari perusahaan tambang yang banyak beroperasi di provinsi ini sangat diharapkan untuk ikut membangun Sekolah Terpadu Satu Atap di pulau kecil dan terpencil, bahkan jika memungkinkan ditambah dengan tiga sekaligus yakni SD, SMP, dan SMA.
Perusahaan tambang di Malut yang setiap tahunnya meraih keuntungan ratusan milyar rupiah itu juga diharapkan untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak tidak mampu, khususnya yang putus sekolah di Malut, karena bantuan dari pemerintah berupa Kartu Indonesia Pintar (KIP) belum bisa menjangkau seluruh anak kurang mampu di provinsi ini.
Peran Lurah
Setiap pemerintah kabupaten/kota di Malut memiliki strategi tersendiri dalam upaya membebaskan daerahnya dari anak putus sekolah, Kota Ternate, misalnya, salah satu strategi yang dilakukan adalah memanfaatkan peran kelurahan.
Semua lurah dan staf di Kota Ternate diwajibkan aktif menyisir dan mendata anak putus sekolah di wilayah masing-masing dan setiap anak putus sekolah yang ada harus diupayakan untuk bersekolah kembali.
Upaya untuk menyekolahkan kembali setiap anak putus sekolah itu, menurut Wali Kota Ternate, Dr. Tauhid Soleman, tidak hanya berlaku bagi anak putus sekolah warga Kota Ternate, tetapi anak pendatang dari daerah lain yang orang tuanya mencari nafkah di kota rempah ini.
Jika anak putus sekolah yang ditemukan tidak memungkinkan lagi untuk kembali bersekolah karena pertimbangan usia, misalnya, yang bersangkutan berhenti sekolah di kelas 3 SD tetapi sekarang usianya 13 tahun, maka diarahkan untuk mengikuti program penyetaraan Paket A.
Di Kota Ternate terdaftar 150 anak putus sekolah seperti itu, yang umumnya pendatang dari daerah lain. Sebanyak 45 anak di antaranya telah diikutkan program penyetaraan Paket A dan Paket B, sedangkan sisanya akan diupayakan untuk ikut program penyetaraan pada tahun 2023 ini.
Strategi lain yang dilakukan Wali Kota Ternate Tauhid Soleman untuk membebaskan daerah ini dari anak putus sekolah adalah menginstruksikan seluruh sekolah SD dan SMP memanfaatkan sebagian dana Bantuan Operasional Sekolah Derah (Bosda) untuk beasiswa siswa tidak mampu sehingga mereka tidak sampai putus sekolah.
Seluruh SD dan SMP di Kota Ternate juga diinstruksikan untuk tidak melakukan pungutan dalam bentuk apa pun kepada siswa, seperti saat penerimaan rapor atau ijazah, sebagai implementasi dari program pendidikan gratis yang diterapkan di Ternate selama ini.
Seorang pemerhati pendidikan dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Kieraha Ternate Ashari Usman, M.Pd melihat pentingnya pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta pihak terkait untuk terus mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama melalui penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya.
Selain itu pengendalian inflasi harus dilakukan secara maksimal di Malut karena jika inflasi tinggi, terutama untuk harga kebutuhan pokok, itu akan mengakibatkan besarnya pengeluaran masyarakat dan bisa berimplikasi terhadap kemampuan mereka untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Masalah dunia pendidikan di Malut bukan hanya anak putus sekolah, tapi juga infrastruktur sekolah yang kurang memadai, keterbatasan tenaga guru, dan relatif rendahnya kompetensi guru.
Semua masalah harus ditangani dengan kesungguhan dan kebijakan yang tepat oleh pemerintah daerah setempat.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023