Hal itu perlu dilakukan agar pengurangan risiko bencana yang dijalankan tidak meleset. Prinsipnya mitigasi bencana di berbagai tempat itu berbeda, karakter ancaman bencana berbeda-beda,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Mitigasi atau pengurangan risiko bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah, karena kerakteristik risiko bencana yang dihadapi masing-masing daerah berbeda, kata Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Djati Mardiatno.
"Hal itu perlu dilakukan agar pengurangan risiko bencana yang dijalankan tidak meleset. Prinsipnya mitigasi bencana di berbagai tempat itu berbeda, karakter ancaman bencana berbeda-beda," katanya pada diskusi "Review Masterplan Pengurangan Risiko Bencana", di Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia terkait dengan ancaman tsunami, misalnya, meskipun terjadi gempa di perairan, belum tentu getaran yang dihasilkan memicu terjadinya tsunami. Sebaliknya ada fenomena "slow earthquake tsunami" yang bisa terjadi sewaktu-waktu, di selatan Jawa, misalnya.
"Kami punya banyak informan yang memberikan keterangan pascatsunami Pangandaran 2006. Mereka menyebutkan tidak ada gempa yang menyertai sebelum tsunami menerjang kawasan pantai tersebut," katanya.
Ia mengatakan pascatsunami Pangandaran 2006 telah dilakukan sejumlah penelitian termasuk soal efek tsunami yang lebih besar, tanpa terdeteksi adanya gempa bumi. Adanya pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa yang hampir tegak lurus dan terdapat sedimen lunak di atasnya disebut sebagai pemicu tsunami senyap (low earthquake tsunami) yang membutuhkan mitigasi berbeda.
"Tsunami Pangandaran dipicu adanya getaran atau gerakan lempeng di selatan Jawa yang kemudian mendapatkan amplifikasi (diperkuat, red) gerakan sedimen lunak yang ada. Misalnya, tinggi ombaknya 3,5 meter tetapi dengan hadirnya "slow earthquake" itu bisa memperbesar gelombang, bahkan bisa sampai 10 meter," katanya.
Menurut dia berkaca dari pengalaman penanganan tsunami yang ada, sejak Juni 2012 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah memiliki Masterplan Pengurangan Resiko Bencana.
"Sayangnya, dokumen kebijakan itu tak dilengkapi dengan kajian akademik yang komprehensif. Dibutuhkan pemetaan risiko bencana yang lengkap dan bisa terakses oleh semua pihak," katanya.
Kepala Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rahman Hidayat mengatakan ke depan perlu segera dibentuk tim ahli atau tim independen yang bisa secara proaktif mengkritisi penyusunan "masterplan" pengurangan risiko bencana itu agar tidak terjadi kesalahan yang semakin banyak.
"Dalam penyusunan `masterplan` juga diharapkan tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga melibatkan perguruan tinggi dan pihak swasta," katanya.
(B015*H010)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013