jalan mulus tidak semata tentang transportasi dan konektivitas, tapi juga berkaitan dengan kesehatan sosial, fisik, dan mental.
Jakarta (ANTARA) - Sejak Jumat kemarin, masyarakat aktif membagikan video Presiden Joko Widodo melewati jalan-jalan yang rusak di Lampung yang dikunjunginya pada tanggal 5 Mei.
Jokowi mungkin menemukan antitesis dari keyakinannya bahwa jalan raya yang mulus adalah kunci memajukan negeri dan bagian tak terpisahkan dari konektivitas yang niscaya untuk negara seluas dan seheterogen Indonesia.
Dari video yang tersebar itu terlihat banyak sekali jalan raya yang rusak. Ini memunculkan ironi bahwa di tengah aktifnya elite kekuasaan berbicara tentang konektivitas, masih ada yang melihat jalan raya yang baik tidak sebagai bagian integral dari konektivitas.
Semua itu berawal dari anak muda bernama Bima Yudho, yang walau cara bertuturnya membuat gerah sebagian orang, tetap mewakili banyak orang di daerahnya yang menginginkan wilayahnya semaju daerah lain di Indonesia.
Dalam beberapa hal, sentilan Bima juga mewakili suara-suara lain di negeri ini yang mendamba jalan-jalan bagus di sekitar mereka.
Jalan-jalan yang rusak memang tak cuma di Lampung, walau dengan skala kerusakan yang mungkin tak seluas provinsi itu. Sayang, di beberapa tempat, persoalan jalan rusak kadang kala gagal mengusik mereka yang tengah berkuasa untuk bertindak.
Sementara itu di beberapa daerah, kemacetan dibiarkan terjadi bertahun-tahun tanpa solusi yang sistemik dan langgeng. Padahal, jalan yang macet tidak lebih baik dari jalan yang buruk.
Banyak orang penting latah tentang pemberdayaan ekonomi, memajukan pariwisata, dan menyuarakan konektivitas, tapi lupa mengaitkan semua itu dengan upaya menghadirkan jalan raya bagus dan baik yang bisa mendorong konektivitas pada tingkat paripurna.
Situasi semakin miris jika melihat kondisi di banyak negara yang tak lebih makmur dari Indonesia, namun begitu memedulikan hadirnya jalan raya yang mulus, dari perdesaan sampai daerah urban.
China, misalnya. Negara yang sampai dekade 1980-an dicibir tertinggal jauh itu berubah meraksasa seperti sekarang. Salah satu fondasi untuk berangkat ke tahap itu adalah agresif membangun jalan raya yang menghubungkan siapa pun dan daerah mana pun di negeri itu.
Dengan cara begitu, pelan tapi pasti China bisa memastikan tak ada lagi daerah yang terpencil nan terisolasi, pun tak ada lagi yang tak terjangkau atau tertinggal.
China juga aktif membangun jalan tol di mana-mana, dari ujung timur sampai ujung barat, dari ujung utara sampai selatan, bahkan jalan-jalan itu dihubungkan dengan negara-negara lain.
Mengutip sejumlah laporan termasuk Bank Dunia, China saat ini memiliki jalan tol yang menghubungkan sekitar 95 persen penduduknya.
Itu pencapaian luar biasa besar untuk negara seluas dan berpenduduk sebanyak China yang membuat Negeri Panda ini tidak saja menjaga konektivitas, tetapi menjamin proses ekonomi semakin lancar dari waktu ke waktu.
Demi Indonesia maju nan lebih baik
Saking pentingnya jalan raya, China yang segera menjadi raksasa ekonomi terbesar di dunia, menamai program kerja sama pembangunan globalnya dengan "Prakarsa Sabuk dan Jalan" (BRI).
China juga aktif menawarkan diri membangunkan jalan raya yang mulus dan lapang kepada mitra-mitranya di Asia Tenggara, Asia Tengah, sampai Timur Tengah dan Afrika.
Keyakinan China ini berpijak pada kisah suksesnya sendiri dalam menghubungkan daerah-daerah tanpa kecuali, dengan menghadirkan jalan raya yang mudah dan cepat dilalui siapa pun.
Manusia pun dihubungkan dan didekatkan satu satu sama lain sehingga bisa saling berbagi untuk kemudian saling mendorong dalam memajukan diri dan sekaligus menutup kesenjangan.
Ini karena jalan raya yang bagus adalah tentang akses, tentang mengelola waktu serta energi, dan tentang kesempatan yang bisa mendorong siapa pun semaju mereka yang lebih maju.
Pandangan itu sebenarnya diyakini banyak kalangan di Indonesia. Di antara yang paling menonjol dari semua itu tentu saja Presiden Joko Widodo.
Jokowi sudah dan tengah mewujudkan sebagian ambisi membangun banyak jalan dan infrastruktur-infrastruktur vital lainnya, termasuk jalan tol, di antaranya Trans Jawa, Trans Sumatera, bahkan Kalimantan kini memiliki jalan tol sendiri.
Lain dari itu, jalan yang mulus tidak semata tentang transportasi dan konektivitas, tapi juga berkaitan dengan kesehatan sosial, fisik, dan mental.
Dalam laporannya pada 2015, Bank Dunia menyatakan jalan raya adalah "Arteri melalui mana kegiatan ekonomi berdenyut. Perannya dalam menghubungkan produsen dengan pasar, pekerja dengan pekerjaannya, pelajar dengan sekolahnya, dan orang sakit dengan rumah sakit, membuat jalan sangat penting untuk setiap agenda pembangunan."
Bank Dunia menyebut setiap agenda pembangunan, yang artinya jalan raya penting untuk semua aspek pembangunan, tak hanya ekonomi.
Kenyataannya, sudah banyak studi menunjukkan jalan raya yang mulus nan bebas dari kerusakan dan kemacetan, membuat waktu bisa lebih dikelola dengan baik dan perencanaan menjadi lebih mudah diwujudkan sehingga target-target menjadi lebih cepat direalisasikan dengan hasil yang lebih efektif dan lebih efisien.
Lebih penting lagi, membangun jalan yang baik dan bagus adalah juga tentang keberpihakan pemimpin kepada rakyat.
Ini karena jalan yang bagus membuat orang terhubung satu sama lain sehingga interaksi seintensif ini mendorong hidup yang lebih baik dan lebih maju.
Sebaliknya, jalan yang buruk membuat orang terputus dari peluang sehingga menutup kesempatan untuk hidup lebih baik dan membuat tetap tertinggal dari yang lain.
Untuk itu, kunjungan Jokowi ke Lampung harus dipahami sebagai upaya mengembalikan kesadaran mengenai arti penting jalan raya dalam konektivitas demi Indonesia yang lebih baik dan maju.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023