PBB (ANTARA News) - Perdana Menteri (PM) Jepang yang baru, Shinzo Abe, menyerukan tindakan "tegas" terhadap Korea Utara terkait program senjata nuklirnya saat negara-negara besar berjuang untuk memutuskan langkah-langkah yang akan diambil terhadap rezim yang terisolasi itu, kata para pejabat, Rabu.

Abe mengeluarkan seruan itu dalam pembicaraan telepon dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Selasa malam, kata juru bicara PBB Martin Nesirky.

Jepang adalah sekutu utama Amerika Serikat, yang berjuang untuk membujuk China agar menyetujui tindakan tegas Dewan Keamanan PBB terhadap Pyongyang karena tindakan yang dipandang pihak Barat sebagai uji coba teknologi rudal balistik, yang dilarang pada 12 Desember lalu.

Korea Utara menjadi salah satu topik utama selain perekonomian dan rekonstruksi Jepang pasca-gempa bumi dan tsunami pada 2011 dalam pembicaraan pertama Ban dengan perdana menteri Jepang itu.

Sekjen PBB "menyampaikan keprihatinannya atas penggunaan senjata nuklir oleh Korea Utara", kata Nesirky.

Abe "menyetujui perlunya untuk mengambil langkah tegas Dewan Keamanan mengenai penggunaan senjata nuklir oleh Korea Utara".

"Perdana menteri Jepang juga menyampaikan keinginannya untuk turut terlibat dalam peningkatan situasi hak asasi manusia di Korea Utara," tambah Nesirky.

Amerika Serikat bekerjasama dengan Jepang dan Korea Selatan saat melakukan negosiasi dengan China tentang cara menangani Korea Utara, kata para diplomat.

Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara yang terisolasi ketika Pyongyang menggelar uji coba nuklir pada tahun 2006 dan 2009. PBB telah berulang kali memperingatkan aksi baru jika pemerintah Korea Utara melakukan tahap proliferasi baru dan pihak Barat mengatakan bahwa peringatan itu sekarang harus didukung.

Amerika Serikat dan China tengah bernegosiasi "di tingkat paling atas" tentang cara menghadapi Korea Utara.

Amerika Serikat dan sekutunya menginginkan resolusi resmi Dewan Keamanan dengan sanksi baru untuk Korea Utara atas peluncuran roket itu.

China telah menyepakati sebuah pernyataan baru Dewan, yang memungkinkan penyebutan baru berdasarkan sanksi yang telah ada, kata diplomat PBB yang tidak ingin disebutkan namanya.

Pernyataan memiliki status hukum yang lebih rendah dibandingkan resolusi resmi dan para diplomat Barat mengatakan hal itu merupakan indikasi lemahnya dunia internasional.

China mengatakan "bahwa rezim ini baru dan anda harus memberinya waktu", kata seorang diplomat senior.

Amerika Serikat belum memutuskan apakah akan mengajukan sebuah rancangan resolusi yang bisa diveto oleh China sebagai anggota tetap dewan, kata diplomat itu.

"Mereka masih dalam tahap bekerja dengan China dan berharap akan ada beberapa gerakan," kata utusan itu.

(G003)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013