Mataram (ANTARA News)- Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Barat (NTB), Ir. Baderun Zainal, MM mengakui, perusakan hutan yang terjadi selama ini dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara "supply dan demand" masyarakat. "Akibat persediaan dan permintaan yang tidak sebanding itu ikut mempengaruhi terjadinya perusakan hutan, hingga saat ini terdapat beberapa titik kerusakan hutan seperti di daerah Tambora," katanya kepada wartawan di Mataram, Selasa (6/6).Dikatakan, produksi kayu NTB cukup fluktuatif sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, yang meminta agar pemerintah provinsi dan kabupaten menghentikan aktivitas perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang kini beroperasi. Dengan begitu, maka produksi kayu NTB hanya mengandalkan dari Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) sebesar 5.615,2 m3 pertahun, pada tahun 2005 hingga bulan Mei produksinya baru mencapai 961,54 m3. Untuk kebutuhan kayu komsumsi pertukangan saja dibutuhkan sekitar 200.180 m3 per tahun, dengan asumsi kebutuhan rata-rata 0,05 m3 perkapita jumlah penduduk NTB sebanyak empat juta jiwa lebih. Guna memenuhi kebutuhan kayu masyarakat NTB itu, disamping produksi kayu yang berasal dari IKPTM, juga dilakukan pemasukan dari luar daerah, terutama dari Kalimantan, Sulawesi dan juga Papua yang jumlahnya mencapai 18.224,37 m3. Dengan begitu kemampuan persediaan kayu sejak tahun 2004 mencapai 38.302,69 m3, sedangkan tahun 2005 hanya mencapai 19.185,91 m3. Sehingga ada kesenjangan antara kebutuhan dengan kemampuan persediaan, hal tersebut yang mendorong terjadinya "illegal logging", serta salah satu penyebab meningkatnya kerusakan hutan di NTB yang hingga kini masih sulit diatasi. Mengenai penegakan hukum atas pelaku "illegal logging" yang melibatkan masyarakat, Baderun menyatakan, pihaknya menggunakan tiga pendekatan yakni subtansi hukum, aparat pengamanan hutan dan juga melibatkan aspek masyarakat dikawasan hutan. Selama ini pihaknya telah menangani 181 kasus, dan menyita puluhan gerjagi, parang, kampak yang digunakan masyarakat saat memotong kayu dalam hutan. Diantara beberapa kasus tersebut sudah ada yang diputus pihak Pengadilan Negeri, hasil penyidikan yang dilakukan PPNS Kehutanan dengan Polri setempat, sebagian lagi masih dalam proses hukum. Lebih lanjut dikatakan krisis ekonomi yang pernah terjadi mendorong terjadi tekanan ekonomi masyarakat kian berat sehingga meningkatkan angka kemiskinan. Kemiskinan di NTB mencapai 1.145.800 jiwa atau 27,76 persen dari penduduk NTB tahun 2002, diperkirakan 20 persen diantaranya bermukim d dalam atau sekitar hutan. Penduduk tersebut pada umumnya mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya hutan sebagai sumber mata pencarian mereka berupa kayu, pangan dan air. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan sudah terjadi sejak puluhan bahkan ratusan tahun, permasalahannya kian meningkat berkaitan dengan kebijakan yang menimbulkan dampak terhadap kemiskinan. Kemiskinan bersifat struktural tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi dari pada pemerataan sehingga pedesaan mengalami ketertinggalan. Kondisi itu kemudian dimanfaatkan para cukong kayu dengan cara memesan sejumlah log dengan harga murah yang dilakukan secara illegal. "Masyarakat dikawasan hutan karena ketidakberdayaan terpaksa memenuhi pesanan para cukong demi memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup yang terus mendesak," demikian Ir. Baderun Zainal. MM. (*)
Copyright © ANTARA 2006