"Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras," kata Prof. Ahmad Muzakki dalam keterangan di Surabaya, Jumat.
Rumusan selanjutnya adalah memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai, yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.
Baca juga: Wamenag berharap Piagam Surabaya bermanfaat bagi masyarakat
Muzakki menjelaskan Surabaya Charter bertujuan menjawab tiga hal. Pertama, bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat ini dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan?
Kedua, bagaimana fikih bisa menjadi landasan bagi peradaban manusia yang menempatkan manusia sejajar satu sama lain. Ketiga, bagaimana fikih harus menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai.
"Jawaban itu tertuang dalam enam rekomendasi Piagam Surabaya, yaitu Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan," katanya.
Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Selanjutnya, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
Baca juga: Menag: AICIS miniatur kajian Islam yang terbuka dan moderat
Baca juga: AICIS kaji relevansi fikih dan kemanusiaan digital
"Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras," ujarnya.
Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif.
"Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian," ujar Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pewarta: Willi Irawan
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023