Depok (ANTARA News) - Rahakundini Laspetrini berhasil meraih gelar doktor politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) setelah berhasil mempertahankan disertasi "Pembangunan Kekuatan Negara : Studi Komparatif Antara Indonesia dan Israel Berdasarkan Elemen Militer".

"Tim penguji memutuskan Rahakundini lulus menjadi doktor politik dengan nilai yudisium sangat memuaskan," kata Ketua Tim Penguji Sidang Bambang Shergi Laksmono di FISIP UI Depok, Rabu.

Dalam sidang promosi tersebut sebagai promotor adalah Prof Dr Maswadi Rauf, Ko-promotor Prof Dr Burhan D Magenda dan Dr Chusnul Mari`yah, dengan anggota Dr Makarim Wibisono, Dr Valina Singka, Dr Isbodroini Suyanto, dan Julian Aldrin Pasha, M.A., Ph.D.

Bambang Shergi mengatakan, secara kualitas Rahakundini mendapatkan nilai cumlaude namun secara akademik belum memenuhi syarat karena penyelesaian masa studinya yang lebih dari tiga tahun.

"Nilai sidang yang diperoleh Rahakundini 85 dengan IPK 3,96," jelas Bambang Shergi.

Dalam disertasinya Rahakundini atau biasa disapa Connie mengatakan, kekuatan militer merupakan ukuran nyata tentang kekuatan suatu negara, dan wujud material militer tersebut dapat mempengaruhi negara lain untuk tunduk sebagai musuh atau menjadi "bawahan".

Dikatakannya, realisasi kekuatan militer Indonesia dalam anggaran pertahanan selama kurun waktu 14 tahun terakhir berada di bawah rata-rata satu persen Gross Domestic Product (GDP).

"Angka ini masih jauh dari negara-negara di kawsan Asia Tenggara yang umumnya di atas satu persen GDP, bahkan mencapai tiga persen sampai lima persen GDP," katanya.

Beberapa alasan Rahakundini membandingkan Israel dengan Indonesia yaitu kapabilitas militer Israel yang terbilang besar dibandingkan dengan Indonesia. Sedangkan Indonesia tiga faktor yang sangat kuat yaitu geografis, populasi, dan sumber daya alam.

Ia mengatakan, beberapa faktor fisik Israel yang sangat kecil, tetapi mempunyai kekuatan militer yang ideal yang menjadi tumpuan bagi kekuatan nasionalnya.

Untuk itu katanya, negara sebagai aktor dalam dinamika politik regional dan interasional harus memiliki faktor resistensi terhadap kekuatan hegemonik eksternal.

"Kemandirian pembangunan kekuatan negara dapat dilakukan dengan memperkuat elemen kekuatan negara baik faktor fisik dan non fisik, selain itu melakukan strategi aliansi baik secara balancing ataupun bandwagoniing," demikian Connie.

(F006/I006)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013