Bandarlampung (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi Lampung telah menerima putusan sidang tabrakan KMP Bahuga dengan MT North Gas Chantika, dari Mahkamah Pelayaran yang memutuskan MT North Gas Chantika telah lalai dalam berlayar.
"Kami sudah memenerima salinan putusan Mahkamah Pelayaran yang memang sudah ditunggu untuk dilanjutkan delik pidananya," kata Kasi Penerangan dan Hukum (Penkum) Kejati Lampung Heru Wijatmiko, di Bandarlampung, Rabu.
Dia mengatakan, salinan berkas diterima pada 26 Desember 2012, yang isinya memutuskan Mualim I MT North Gas Chantika telah lalai tidak mengikuti aturan 16 juncto aturan 8 huruf a, b, d dan e peraturan pencegahan tubrukan di laut (P2TL/COLREG) tahun 1972.
Dalam keputusan Departemen Perhubungan Mahkamah Pelayaran Nomor HK.2010/34/XII/MT.12 tentang kecelakaan kapal antara MT North Gas Chantika dengan KMP Bahuga di perairan Selat Sunda pada 26 September 2012. Secara tegas menilai Chief Officer MT North Gas Chantika Su Jibing (38) warga China telah lalai.
Isi keputusan tersebut, diterangkannya bahwa Chief Officer Su Jibing dengan nomor sertifikat Chief Mate JGA112201008611 tahun 2010 yang dikeluarkan Peoples Republic Of China agar dihukum sesuai dengan hukum negara yang menandatangani sertifikat tersebut melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta.
Kemudian, nahkoda kedua kapal dinyatakan tidak bersalah karena sudah menyerahkan tanggungjawabnya kepada Mualim I masing-masing kapal. Keputusan Mahkamah Pelayaran tersebut ditandatangani oleh Ketua Capt A Utoyo Hadi, empat anggota dan satu sekretaris.
Heru mengatakan, dari keputusan tersebut pihaknya meminta kepada penyidik kepolisian untuk melengkapi berkas penyidikan yang telah dilakukan. Salah satu kelengkapan yang harus dipenuhi, agar penyidik kepolisian menggunakan keputusan Mahkamah Pelayaran tersebut untuk dijadikan rekomendasi kelengkapan berkas.
"Berkas telah diserahkan ke penyidik Polda Lampung maksudnya untuk melengkapi berkas dengan merujuk pada keputusan tersebut," katanya tegas.
Ia mengungkapkan, perkara kecelakaan ini merupakan perkara internasional yang perlu kehati-hatian terutama dalam menentukan locus dan tempus delicty nya sehingga terkesan lambat.
"Yang dikhawatirkan dalam kasus ini adalah eksepsinya yang akan mempertanyakan kewenangan penanganan perkara ini. Karena ini terjadi diperairan harus dengan titik koordinat yang tepat tidak seperti lakalantas di darat," katanya.
Ia menambahkan pihaknya akan meminta keterangan ahli dari Universitas Indonesia (UI) menyangkut penetapan tersangka dalam perkara ini. ((RB*A054/M019)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013