Manado (ANTARA News) - Ketua DPR-RI Agung Laksono menilai sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) sudah "kebablasan" karena ada di antaranya telah berpolitik praktis dan langsung bernaung di bawah partai politik kendati UU No.8 Tahun 1985 tentang Keormasan tidak mengaturnya. "Undang-Undang tentang Keormasan ini adalah undang-undang produk tahun 1985. Jadi sudah lebih dari 20 tahun. Paradigma di masyarakat sudah berubah dari era Orde Baru ke Reformasi dan kenyataannya banyak perubahan yang terjadi," katanya kepada wartawan seusai membuka pelatihan instruktur perkaderan Partai Golkar se-Kabupaten Minahasa di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Minahasa, Senin. Untuk itu, menurut Agung yang juga wakil ketua umum DPP Partai Golkar ini, perlu pengkajian ulang terhadap UU No.8 Tahun 1985 sehingga posisi Ormas menjadi jelas dan orang tidak mudah membentuknya demi tujuan sesaat. "Saya kira ini perlu dipertimbangkan. Karena itu, mari kita kaji kembali (UU tentang Keormasan produk Orde Baru-red.) itu. Perubahannya sendiri, saya belum tahu. Ini gagasan saja. Kalau perlu kita duduk bersama dan kita kaji ulang," katanya. Menjawab pertanyaan tentang adanya sejumlah Ormas yang cenderung ekstrim dalam aksi-aksinya, Agung mengatakan, bangsa ini tidak menghendaki adanya Ormas ekstrim. "Saya kira suatu hal yang wajar karena tidak mengarah kepada masyarakat kita yang ekstrim. Saya tidak bisa menyebutkan siapa tapi organisasi-organisasi semacam ini harus kita hindarkan. Kita lebih baik preventif. Kita tidak ingin adanya benturan di masyarakat karena membawa nama-nama organisasi," katanya. "Jadi, apakah Ormas boleh berpolitik praktis atau tidak harus jelas posisinya," kata Agung. Beberapa kalangan di masyarakat meminta sejumlah Ormas, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR), dibubarkan. Desakan masyarakat agar Polri membubarkan FPI misalnya antara lain terkait dengan tuduhan pengusiran mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat tampil sebagai pembicara dalam dialog Lintas Agama di Purwakarta, 23 Mei lalu. FBR sendiri sempat disomasi mantan Ibu Negara RI, Shinta Nuriyah (istri mantan presiden Abdurrahman Wahid) terkait dengan pernyataan ketuanya, Fadholy El Muhir, di Metro TV bahwa peserta pawai budaya yang menolak RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi merupakan "perempuan-perempuan bejat berwatak iblis yang merusak moral bangsa." Shinta Nuriah ikut dalam pawai budaya yang berlangsung damai di Jakarta belum lama ini.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006