Jakarta (ANTARA News) - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar dinilai oleh PKB Alwi Shihab dan Choirul Anam sebagai pengabaian keputusan Mahkamah Agung (MA). "Kami sangat kecewa dengan putusan ini terutama setelah mendengar pertimbangan Majelis Hakim yang mengabaikan putusan MA, yang menyatakan pemberhentian dan pemecatan Alwi Shihab adalah cacat hukum," kata kuasa hukum PKB Alwi dan Anam, M. Assegaf usai sidang di PN Jakarta Selatan, Senin. Putusan MA itu, menurut Assegaf, mengandung pengertian bahwa MA mengakui yang sah sebagai Ketua Dewan Tanfidz adalah Alwi yang terpilih dalam Muktamar ke II PKB yang dilaksanakan di Surabaya. Assegaf juga merasa heran dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa peserta dan pendukung Muktamar Surabaya tidak tercatat dengan jelas asal usul cabang partai karena pihaknya telah menyampaikan cabang-cabang dan wilayah yang tercatat sebagai pendukung. Ia juga menyoroti putusan Majelis yang menyatakan SK Menkum dan HAM No 11.UM.06.08 tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum. Menurut dia, sedari awal pihaknya menyatakan bahwa kewenangan untuk membatalkan Surat Keputusan Menteri adalah wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "SK itu mengikat hingga ada putusan MA, putusan MA telah keluar yaitu yang menyatakan pemecatan dan pemberhentian Alwi adalah cacat hukum," kata Assegaf. Assegaf mengatakan, pada sidang gugatan terdahulu, kubu Gus Dur memang dimenangkan di PN Jakarta Selatan namun putusan itu dibatalkan oleh MA. "Secara hukum, MA mengakui Alwi sebagai Ketua," kata dia. Pihaknya, kata Assegaf, merasa kecewa terhadap diktum putusan PN Jakarta Selatan dan akan melanjutkan perkara ini ke tingkat kasasi ke MA. Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum PKB Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, Firman Wijaya mengatakan, persidangan yang digelar di PN Jakarta Selatan itu secara faktual telah mengakui ketidakjelasan dukungan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dalam muktamar tersebut. "Bahkan ketentuan minimum tentang dua pertiga jumlah anggota yang wajib hadir dalam muktamar pun tidak diketahui dengan jelas. Selain itu, lanjut Firman, tidak ada aturan organisasi yang memberikan mereka mandat untuk melaksanakan muktamar. "Aspek legalitas organisasi itulah yang membuat kubu mereka catat di muka hukum," kata Firman. Majelis Hakim yang diketuai Wahjono dengan anggota Soedharmadji dan Sutjahjo Padmo menyatakan Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke-II di Surabaya pada 1-2 Oktober 2005 yang diselenggarakan oleh Alwi Shihab dan kawan-kawan tidak sah. Para pengurus yang dihasilkan dari muktamar Surabaya dilarang untuk menggunakan logo, atribut, bendera, mars dan hymne PKB. Selain itu, para tergugat juga diwajibkan untuk membayar Rp1 juta per hari bila lalai untuk melaksanakan hasil putusan, dan membayar uang ganti rugi secara tunai senilai Rp1 milliar. Majelis Hakim juga menyatakan, Muktamar PKB ke-II di Semarang 16-19 April 2005 dan pengurus PKB dari hasil muktamar di Semarang, yaitu Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman Wahid dan Ketua Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar adalah sah dan merupakan pihak yang berhak menggunakan atribut PKB dan juga Kantor DPP PKB di Kalibata Jakarta.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006