Jakarta (ANTARA) -
Laman Medical Daily melaporkan, Senin (1/5), dalam kehidupan sosial, orang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dua bahasa dapat meningkatkan kehidupan sosial hingga membuka lebih banyak kesempatan kerja.
Para peneliti di Jerman menentukan bahwa orang yang berbicara dwibahasa mendapat nilai lebih baik dalam tes belajar, memori, bahasa dan kontrol diri daripada pasien yang berbicara hanya satu bahasa.
Para peneliti sebelumnya telah menemukan hubungan antara bilingualisme dan demensia. Studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Neurobiology of Aging, mengevaluasi bagaimana bilingual pada tahap kehidupan yang berbeda berdampak pada kognisi dan struktur otak pada usia dewasa.
"Bilingualisme dapat bertindak sebagai faktor pelindung terhadap penurunan kognitif dan demensia. Secara khusus, kami mengamati bahwa berbicara dua bahasa setiap hari, terutama pada tahap awal dan pertengahan kehidupan mungkin memiliki efek jangka panjang pada kognisi dan korelasi sarafnya," kata para peneliti yang terlibat studi tersebut.
Baca juga: Main puzzle dan belajar bahasa bisa cegah demensia frontotemporal
Mereka menguji 746 orang berusia 59 hingga 76 tahun yang 40 persen dari mereka tidak memiliki masalah ingatan, sedangkan sisanya adalah pasien di klinik ingatan atau orang dengan keluhan kebingungan atau kehilangan ingatan.
Dalam evaluasi yang diadakan peneliti, responden yang menggunakan bahasa kedua selain bahasa Jerman saat berusia antara 13-30 atau antara 30-65 tahun, menunjukkan skor yang lebih tinggi pada kemampuan bahasa, memori, fokus, perhatian dan pengambilan keputusan dibandingkan dengan mereka yang tidak bilingual.
Para ilmuwan percaya kemampuan bilingual untuk beralih di antara dua bahasa adalah faktor kunci yang membuat mereka lebih baik dalam keterampilan kognitif seperti multitasking, mengelola emosi dan pengendalian diri, yang pada akhirnya melindungi mereka dari demensia.
“Keuntungan menjadi bilingual tidak hanya berasal dari pengetahuan kosa kata dan aturan bahasa kedua, tapi, dari peralihan antar bahasa yang tepat dan sering, yang menuntut kontrol kognitif yang tinggi untuk menghambat potensi interferensi antar bahasa,” kata para peneliti menambahkan.
Para peneliti memperingatkan dampak positif pada kemampuan kognitif mungkin juga disebabkan faktor lain, seperti usia di mana bahasa yang diingat dalam memori, atau demografi atau pengalaman hidup orang-orang yang bilingual.
Baca juga: Bruce Willis didiagnosis alami demensia frontotemporal
Baca juga: Demensia bisa jangkit anak muda, ketahui faktor risiko & pencegahannya
Baca juga: Dokter: Pikun bisa serang orang yang masih muda
Baca juga: Dokter sebut penting deteksi dini cegah demensia
Penerjemah: Fitra Ashari
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023