Walaupun impor BBM hanya sekitar 25 persen tetapi ikut berkontribusi terhadap neraca perdagangan (trade balance) kita,"
Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) ikut menyumbang defisit neraca perdagangan yang hingga November 2012 tercatat sebesar 1,33 miliar dolar AS.
"Walaupun impor BBM hanya sekitar 25 persen tetapi ikut berkontribusi terhadap neraca perdagangan (trade balance) kita," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Bambang menjelaskan impor tersebut meningkat pesat karena konsumsi BBM bersubsidi telah melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah dan kondisi ini dari segi fiskal dirasakan tidak sehat.
"Ini harus menjadi perhatian semua pihak bahwa kita ingin menghemat, karena dengan kita boros memakai BBM, ujungnya kita harus impor," katanya.
Untuk itu, ia mengharapkan upaya penghematan BBM bersubsidi terus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor dan mengurangi tekanan defisit neraca perdagangan serta transaksi berjalan.
"Mudah-mudahan semua pihak sadar bahwa pengendalian BBM tidak bisa dilakukan seadanya tapi harus dilakukan secara serius agar tekanan neraca perdagangan dan transaksi berjalan menjadi berkurang," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor hasil minyak Januari-November 2012 mencapai 10,1 miliar dolar AS dan impor minyak mentah mencapai 26 miliar dolar AS dari keseluruhan impor non migas 137,2 miliar dolar AS.
Menurut Bambang, konsumsi BBM bersubsidi juga harus dilakukan penghematan karena porsi belanja subsidi energi yang dihabiskan saat ini terlalu besar untuk BBM bersubisidi. Bahkan hingga akhir tahun 2012 realisasi subsidi BBM mencapai Rp211,9 triliun dari pagu Rp137,5 triliun.
Apalagi, lanjut dia, penggunaan BBM bersubsidi saat ini justru menguntungkan masyarakat yang tidak perlu disubsidi, sehingga efektifitasnya masih dapat dipertanyakan.
Untuk itu, upaya penyesuaian harga BBM bersubsidi patut dilakukan karena harga yang terlalu murah dapat membuat konsumsi energi menjadi boros, yang dalam jangka panjang ikut mendorong tindakan penyelewengan.
"Kalau suatu barang itu harganya murah, sudah tidak ada urgensi untuk misalnya melakukan gerakan hemat energi. Jadi dalam pandangan saya hemat energi itu hanya efektif kalau disupport kebijakan harga," ujar Bambang.
(S034/B008)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013