"Kalau di kesehatan, dokter punya bargaining power yang besar, sedangkan pemilik rumah sakit hanya sedikit. Kalau di pendidikan, dosen bargaining power-nya lemah, pemilik yayasan bisa sangat kaya dibandingkan dosennya," kata Bambang dalam diskusi mengenai solidaritas akademisi yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Koordinator KIKA: Ada tiga alasan mengapa dosen harus berserikat
Bambang mengatakan pemerintah perlu membantu meningkatkan bargaining power para dosen, khususnya bagi dosen yang bekerja di universitas swasta, karena ketimpangannya sangat jauh dibandingkan dengan pemiliknya.
Bambang menjelaskan bargaining power antara pemilik dan pekerja dalam sebuah industri merupakan dua faktor produksi yang penting untuk menciptakan produk unggul, tak terkecuali dosen dan pemilik institusi pendidikan.
Bambang mengungkapkan industri pendidikan adalah industri paling menguntungkan yang bisa dimiliki oleh rakyat biasa non-konglomerat.
"Kalau ini diambil konglomerat, habis sudah, tidak ada lagi tempat untuk inlander karena semua industri habis disapu oleh mereka," kata Bambang.
Baca juga: Akademisi: Momen Hari Buruh tepat perjuangkan kesejahteraan kolektif
Baca juga: Kementerian PAN-RB pastikan angka kredit dosen tak hangus
Ia menjelaskan pendidikan adalah sektor publik yang perlu dibantu dengan adanya sertifikasi untuk memperoleh bantuan pemerintah bagi guru dan dosen, baik negeri maupun swasta.
"Jangan dihapus (sistemnya), di Australia saja baru didirikan sekolah Muhammadiyah dengan guru yang digaji penuh oleh pemerintah," tambahnya.
Bambang menambahkan bahwa perbaikan bargaining power tidak hanya berlaku di sekolah dan universitas swasta, tapi juga pondok pesantren.
"Terkadang ustadnya hanya dapat sedikit, tetapi pemiliknya banyak banget," pungkas Guru Besar Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Surakarta itu.
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023