Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Agama memberikan penjelasan menanggapi pernyataan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal indikasi penyimpangan pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji.

"Pernyataan tersebut perlu diluruskan, karena bisa mengganggu kepercayaan publik," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, saat menyampaikan keterangan pers di Jakarta, Kamis.

Berikut penjelasan Kementerian Agama menanggapi pernyataan Kepala PPATK Muhammad Yusuf tentang indikasi penyimpangan pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji pada 2 Januari 2013:

1. PPATK menyatakan dana penyelenggaraan haji yang dikumpulkan jamaah setiap tahun mencapai Rp80 triliun dan bunganya sudah mencapai Rp2,3 triliun.

Kementerian Agama menyatakan dana setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sampai 19 Desember 2012 tercatat Rp48,7 triliun, termasuk nilai manfaat (bunga, bagi hasil dan imbal hasil) sebesar Rp. 2,3 triliun.

Dana efisiensi operasional penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun dimasukkan ke rekening Dana Abadi Umat (DAU) yang sampai sekarang jumlahnya Rp2,2 triliun.

Setoran awal dialokasikan untuk biaya pemondokan di Makkah, Madinah dan Jeddah; biaya pelayanan umum bagi jamaah termasuk katering, pengurusan paspor, bimbingan manasik, asuransi dan yang lainnya.

Pemerintah tidak bisa memanfaatkannya untuk membeli perumahan di Arab Saudi karena pemerintah setempat tak mengizinkan kepemilihan properti oleh asing.

Jarak pemondokan jamaah haji di Makkah ke Masjidil Haram tahun 2011 dan 2012 maksimal 2,5 kilometer, lebih dekat dari tahun 2008 (11 kilometer), 2009 (7 kilometer), dan 2010 (4 kilometer).

Ketentuan tentang penggunaan BPIH tertuang dalam Peraturan Menteri Agama No.160/2012 mengenai sumber pembiayaan dan komponen BPIH reguler.

2. PPATK menyatakan penyimpangan pengelolaan dana penyelenggaraan haji antara lain berkaitan dengan pembelian valuta asing dalam jumlah besar oleh Kementerian Agama.

Kementerian Agama menyatakan, penukaran valuta asing dilakukan untuk memenuhi biaya hidup jamaah selama di Arab Saudi. Pengadaan valuta asing dilakukan oleh BPS--Bank Penyimpan Setoran-- devisa dengan metoda pelelangan terbatas.

Penyaluran biaya hidup jamaah dilakukan di embarkasi dilaksanakan oleh PPIH embarkasi dan pihak perbankan pemenang tender pengadaan, bukan oleh Kementerian Agama.

"Kami meminta PPATK untuk menjelaskan oknum atau orang kemenag yang diduga terlibat dalam pengadaan valas dimaksud," kata Anggito.

3. PPATK menyatakan dana dalam bentuk rupiah yang seharusnya digunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji digunakan untuk merehabilitasi kantor dan membeli kendaraan operasional.

Kementerian Agama menyatakan, dana untuk rehabilitasi kantor dan membeli kendaraan operasional dilakukan pada 2009 dan 2011 diambil dari BPIH atas persetujuan DPR RI karena dana APBN saat itu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan operasional di Arab Saudi. Mulai tahun 2012 pembiayaan untuk keperluan itu diambil dari dana APBN.

4. PPATK menyoroti pemilihan bank penyimpan ongkos ibadah haji jamaah, menyebut pemilihan tidak dilakukan berdasarkan parameter dan standar yang jelas.

Kementerian Agama menyatakan, pemilihan bank penyimpan setoran awal dan lunas (BPS) dilakukan oleh jamaah sendiri. Bank kemudian akan menyetorkan dananya ke rekening Menteri Agama di bank tersebut.

Proses memperoleh nilai manfaat (pemindahan dari rekening Giro ke Deposito) di Bank yang bersangkutan dilakukan berdasarkan ketentuan LPS, maksimisasi return dan praktek perbankan yang lazim.

Parameter kinerja perbankan BPS dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama tentang Penunjukkan Bank sebagai BPS BPIH. Saat ini peraturaan tentang penetapan BPS sedang dalam proses finalisasi.

(E001)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013