Surabaya (ANTARA) - Tahun 2024 merupakan warsa panen raya politik elektoral di negeri ini karena dalam setahun akan terselenggara banyak pemilu, yakni Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024 yang serentak digelar dengan pemilihan anggota DPR RI, DPD, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.

Setelah itu, November, pada warsa yang sama, digelar pula pemilihan kepala daerah untuk 38 provinsi serentak dengan 514 kabupaten/kota. Bahkan, ada kabupaten yang menutup tahun 2023 hingga awal 2024 dengan pemilihan kepala desa serentak.

Karena tahun 2024 berada di era digital, maka kebiasaan dan laku digital pun bakan mewarnai para peserta Pemilu 2024, termasuk mereka yang memiliki hak pilih dan para pendukung kontestan. Aplikasi media sosial, seperti Facebook, Tiktok, Instagram, Twitter, YouTube, WA grup, dan lainnya, bakal selalu ramai dengan kabar-kabar politik atau gosip seputar politik.

Namun, dunia maya memiliki banyak jebakan/perangkap digital, seperti hoaks (kabar bohong) dan manipulasi/framing digital (editing video/foto/narasi) sehingga medsos juga dapat mengubah "wajah" politik praktis dengan menampilkan sisi terang dan sisi gelap. Sisi terang merupakan manfaat digitalisasi atau berkah digital dalam mempermudah dan mempercepat pemilu dari lokasi yang berjauhan dan hampir tak terjangkau.

Adapun sisi gelap politik digital justru berwajah kelam. Pelaku politik atau politikus hampir seperti bukan manusia atau bahkan mirip "mesin politik". Pengalaman kelam itu sudah terjadi di negara "kampium demokrasi" Amerika Serikat. Politik digital membuka peluang agen Rusia ikut bermain memenangkan Donald Trump dalam Pilpres 2016.

Sisi gelap dari "pemilu medsos" di AS itu merupakan hasil riset setebal 1.000 halaman yang dirumuskan Senat AS dan dimuat dalam berita PBS News Hour, 18 Agustus 2020. Selama 4 tahun riset ini dibuat, isinya mengonfirmasi bahwa benar dalam Pemilu Presiden AS 2016, Rusia terlibat memengaruhi pemilu AS.

Pemilu medsos itu dilakukan Agen Rusia dengan membuat ribuan akun palsu atas nama seolah-olah mereka orang AS. Mereka masuk ke negara bagian pertempuran atau battle ground, yang menentukan kemenangan, mulai dari Colorado hingga New Mexico.

Saat itu, Donald Trump—yang akhirnya terpilih menjadi presiden--lawannya adalah Hillary Clinton. Agen Rusia ini masuk ke isu yang melemahkan Hillary, misalnya, masalah imigran, terorisme, Muslim, dan skandal seks suaminya, Bill Clinton.

Secara garis besar, volume intervensi Rusia dalam Pilpres AS yang dihitung menunjukkan jaringan agen Rusia menyebarkan sekitar 80 ribu unggahan (posting) yang diakses oleh 126 juta (60 persen) pemilih AS.

Fakta di AS itu agaknya membuka mata kita soal pemilu yang jauh berbeda antara pemilu era media konvensional dengan pemilu era media sosial, karena "kampanye" beralas medsos bisa langsung tanpa ada filter atau editor sama sekali.

Bahkan, di media sosial bisa melakukan "kampanye" dengan micro targetting, misalnya, untuk komunitas tertentu di FB dengan isu tertentu saja, seperti terorisme, imigran, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, kampanye via medsos pun bisa pakai akun palsu dengan begitu mudahnya sehingga agen Rusia bisa tampil seolah-oleh mereka warga AS.

Akan tetapi, jangan khawatir, internet juga membantu aneka pihak lebih cepat melakukan fact cheker (fact checking). Berita apa pun yang melintas, bisa dibedakan hoaks, berita palsu atau asli, cukup dengan Google Search.

Ya, jangan under-estimate dulu, karena politik digital yang positif juga ada. Misalnya, melalui akun pribadi di Instagram, seorang politikus bisa tampil live, berkomunikasi seketika (real time) dengan khalayak di seluruh pelosok negeri.

Dialog langsung antara pemimpin dengan warga sangat penting untuk membangun ikatan emosional dan menjelaskan visi, misi, dan programnya sebagai calon pejabat publik.


Pemilu medsos

Nah, era pemilu medsos pun akan sangat mewarnai pemilu dan pilkada Indonesia pada 2024.

Riset LSI Denny JA, Januari 2023, melaporkan pengguna media sosial di Indonesia ada top 3 platforms, yakni Facebook (52,5 persen), Instagram (31,1 persen). dan Tiktok (29,4 persen), sedangkan pengguna Twitter hanya 8,3 persen.

Di tingkat dunia, secara demografi, profil pemilih pengguna internet media sosial lebih banyak di kalangan usia 50 tahun ke bawah (79 persen), pria dan wanita lebih banyak wanita (75 persen), lebih banyak penduduk kota (73 persen), pendidikan tinggi (SMA ke atas) 72 persen, dan penghasilan tinggi Rp5 juta sebulan ke atas (72 persen).

Namun, media sosial dalam buku Kesalehan Digital (Penerbit CV Campustaka, 2023, Gramedia Grup) disebut ibarat "dunia tontonan" yang meniadakan lokalitas sehingga semua yang direkam dan diunggah, mendadak menjadi "tontonan" global, meski acaranya berskala lokal.

Yang lebih gawat lagi, ruang-ruang digital yang bersifat "tontonan" itu justru didominasi "panggung" digital dengan tema-tema intoleransi dan SARA yang fokus pada identitas dan anti-perbedaan pendapat, meski perbedaan adalah keniscayaan yang semestinya menjadi rahmat untuk saling mengenal (lii ta'arofu), saling menghormati, dan bukan saling menyalahkan, apalagi saling menghujat/mengutuk.

Makanya, ruang-ruang di panggung digital dengan tema-tema intoleransi dan SARA yang anti-perbedaan pendapat itu justru memudahkan dan membuat penyebaran hoaks dan politik identitas menjadi murah dan cepat. Alasannya juga "ngeri" yakni hoaks dan politik identitas itu akan membantu kemenangan calon pemimpin tertentu di segmen pemilih tertentu pula. Mirip terpilihnya Trump di AS yang sesungguhnya tidak lebih dari hoaks juga, meski dikemas sebagai demokrasi.

Namun, politik identitas dan berita hoaks yang menebarkan kebencian untuk semata-mata merebut kekuasaan harus dicegah sejak dini. Karena, kekuasaan tidak boleh diraih dengan menghancurkan kebersamaan/persatuan.

Ya, Pemilu 2024 yang bakal diramaikan dengan kampanye via medsos pun harus tetap membangun toleransi, menghargai satu sama lain, membangun ukhuwah islamiyah persaudaraan sesama Muslim, membangun ukhuwah wathaniyah sesama anak bangsa dan ukhuwah insaniyah sesama umat manusia, itu dilarang untuk mencaci maki atau menyebarkan berita hoaks.

Selain politikus, peran penting melawan hoaks dan politik identitas juga harus dilakukan secara masif oleh media massa dan publik karena upaya mencegah meluasnya hoaks, berita palsu, dan masifnya politisasi agama (SARA) di ruang publik itu penting untuk melawan "pemilu medsos" yang menghalakan segala cara pada Pemilu 2024.

Secara sederhana, solusi menyikapi "pemilu medsos" yang bisa dilakukan publik/masyarakat sebagaimana dirumuskan penulis dalam buku "Kesalehan Digital", yakni sanad, matan, dan rawi.

Sanad merujuk pada informasi yang memiliki narasumber pertama dan kompeten, sedangkan matan adalah isi yang sahih/akurat, yang dapat merujuk pada tabayun/klarifikasi dalam tiga proses; bersanad, adil/objektif, dan ukhuwah/kebersamaan/positif. Adapun rawi (media penyampai/perawi/sumber media), rujukannya adalah media terverifikasi (badan hukum/Dewan Pers), media terstandar (tim redaksi/UU Pers, UU ITE, UU organisasi profesi, UKW), dan media ber-referensi (berbasis data).

Jadi, kata kunci "kesalehan digital" adalah sanad (narasumber/ kompeten), matan (konten dengan klarifikasi objektif, dan ukhuwah), dan rawi/media (terverifikasi Dewan Pers dan terstandar organisasi profesi pers). Jadi, teknologi boleh maju, tapi karakter juga harus maju. Bukan teknologi yang maju, tapi karakter justru purbakala.

"Jangan menjadikan digital sebagai sumber ilmu utama tapi sebagai media informasi saja, tetap mengaji (belajar/rujukan) ke madrasah (lembaga/yayasan pendidikan/pesantren/sanad)," kata Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri, ulama muda asal Jeddah, Arab Saudi.



EditoR: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2023