Jakarta (ANTARA) - Sebuah subvarian baru Omicron menyebar di Amerika Serikat (AS), dan telah menarik perhatian karena tingkat penularannya yang tinggi dan muncul gejala-gejala baru.
Subvarian XBB.1.16, yang disebut sebagai "arcturus", mewakili 9,6 persen dari total kasus COVID-19 saat ini di negara tersebut, naik dari 5,7 persen pada pekan sebelumnya, menurut data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) AS.
Subvarian Omicron XBB.1.5 masih menjadi galur (strain) yang dominan di AS dan menyumbang 73,6 persen dari total kasus baru COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan XBB.1.16 sebagai varian baru yang masuk dalam Variant of Interest. XBB.1.16 adalah turunan dari rekombinan varian XBB, yang merupakan gabungan dari dua subgaris keturunan (sublineage) BA.2.
XBB.1.16 memang memiliki mutasi yang membuatnya agak lebih mudah menular, agak lebih mudah menginfeksi, kata Neha Narula dari Stanford Health Care, seraya menambahkan bahwa pihaknya melihat ada peningkatan kasus pada anak-anak.
"Mengenai gejala, kita masih melihat gejala-gejala seperti sakit tenggorokan, batuk, demam. Namun, gejala baru yang dibicarakan oleh orang-orang adalah gejala konjungtivitis, atau yang umumnya kita kenal sebagai mata merah (pink eye). Itu terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa," papar Narula kepada CBS.
"Pada galur sebelumnya kami melihat lebih banyak gejala pilek dan demam, batuk, bahkan sakit kepala, tetapi gejala mata merah tidak biasa. Sedangkan untuk galur ini, kami melihat gejala ini (mata merah) lebih umum dan dialami oleh lebih banyak pasien," tuturnya.
Subvarian baru tersebut memiliki satu mutasi tambahan pada protein lonjakan (spike protein), yang dalam penelitian laboratorium menunjukkan adanya peningkatan infektivitas (kemampuan menginfeksi) serta potensi peningkatan patogenisitas, menurut Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis COVID-19 di WHO.
Tingkat infektivitas yang lebih tinggi dilaporkan pada varian-varian yang lebih baru, tetapi secara keseluruhan, varian-varian itu cenderung menyebabkan penyakit yang tidak terlalu parah, yang kemungkinan merupakan hasil dari tingkat vaksinasi yang lebih tinggi, tingkat kekebalan yang lebih tinggi dari infeksi sebelumnya, serta melemahnya patogenisitas varian-varian baru, menurut Mayo Clinic.
Galur baru tersebut pertama kali terdeteksi pada Januari lalu, dan sejak itu telah ditemukan di lebih dari 30 negara. WHO tengah memantau XBB.1.16, yang berkontribusi pada lonjakan kasus COVID-19 baru-baru ini di India.
Para pakar memperingatkan persentase XBB.1.16 diperkirakan akan meningkat di AS dalam beberapa pekan mendatang, dan kemungkinan menjadi galur virus corona dominan berikutnya di negara itu.
Pewarta: Xinhua
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2023