Jakarta (ANTARA News) - Presiden Filipina, Benigno Aquino telah menandatangani Undang-Undang tentang akses kontrasepsi gratis dan perencanaan keluarga untuk masyarakat.
RUU ini butuh waktu 14 tahun untuk bisa lolos menjadi sebuah kepastian hukum. Para pendukungnya mengharapkan, kemiskinan dan angka kematian ibu bisa berkurang karena UU tersebut.
Sebaliknya, ada pula penolakan datang dari Gereja Katolik Roma terhadap UU tersebut. Akibatnya beberapa kali anggota kongres Filipina gagal mengesahkan RUU, sampai akhirnya pada 19 Desember keputusan itu sudah ditandatangani.
Juru Bicara Kepresidenan Filipina menjelaskan bahwa UU ini akan efektif berjalan pada pertengahan Januari.
"Babak Undang-Undang Keluarga Berencana yang telah memecah belah telah ditutup, babak baru lahir dari mereka yang mengungkapkan pendapat, atau melawannya," katanya seperti dikutip laman BBC.
"Pada saat yang sama, ini akan membuka kemungkinan kerjasama dan rekonsiliasi... Perjanjian dan dialog ditandai bukan oleh permusuhan, tapi dengan hasrat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat Filipina," tambahnya
Menurut laporan BBC meski sekarang RUU tersebut sudah menjadi UU, tapi pihak gereja dan sekutu politiknya masih saja melakukan penolakan.
Beberapa uskup bahkan mengancam akan menggugat legalitas UU itu di Mahamah Agung. Lebih dari 80 persen populasi di Filipina adalah Katolik, dan gereja telah mendapat dukungan dari banyak polisi, media, dan pengusaha.
Kondom saat ini memang sudah dijual secara luas di Filipina, namun harganya tidak terjangkau oleh banyak orang miskin.
Banyak rumah sakit bersalin juga berjuang keras menghadapi angka kelahiran yang tinggi, dan awal tahun ini PBB meminta Filipina untuk meloloskan RUU keluarga berencana.
Survei pemerintahan Filipina di tahun 2011 ditemukan angka kematian ibu meningkat 36 persen antara tahun 2006 dan 2010.
(lod)
Penerjemah: M Baghendra Lodra
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012