Jakarta (ANTARA) - Delima Silalahi (47) masih mengingat jelas peristiwa kerusakan hutan pada tiga dekade silam yang terjadi di kampungnya Tapanuli Utara dan juga kawasan Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara. Hutan tropis yang rusak akibat kehadiran industri telah menimbulkan masalah lingkungan, sosial, hingga ekonomi bagi penduduk lokal.

Ketika berkuliah, perempuan Batak itu pernah menjadi aktivis dan bergabung dengan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang bergerak dalam perlindungan hutan adat di Sumatera Utara, terhitung sejak tahun 1999. Kini dia menjabat sebagai direktur eksekutif pada organisasi non-pemerintah tersebut.

"Masa kecil saya ada di desa, saya ada di Tapanuli Utara. Saya melihat hutan-hutan yang waktu saya kecil itu bagus, tapi dalam 30 tahun terakhir ini semakin hancur," kata Delima yang diwawancarai secara telekonferensi di Jakarta, pada pertengahan April 2023 lalu.

Delima memimpin advokasi dan kampanye demi mendapatkan hak pengelolaan sah 7.213 hektare hutan tropis untuk enam kelompok masyarakat adat di Sumatera Utara.

Dia bersama enam kelompok masyarakat adat berhasil merebut kembali hak pengelolaan ribuan hektare hutan tropis itu dari tangan perusahaan dan kini mulai melakukan restorasi agar hutan yang telah rusak bisa kembali berfungsi menyerap karbon.

Sebelumnya, perusahaan pulp dan kertas Toba Pulp Lestari (TPL) telah mengubah sebagian lahan menjadi hutan tanaman industri berupa pohon eukaliptus melalui skema penanaman monokultur. Eukaliptus tersebut bukan tanaman asli dari Tanah Batak.

Delima bercerita tentang pohon kemenyan atau Styrax benzoin yang menjadi tanaman endemik. Penduduk lokal telah membudidayakan pohon kemenyan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Bahkan, catatan sejarah menunjukkan bahwa getah yang digunakan dalam minyak, wewangian, dan pengobatan itu telah dipanen dan diperdagangkan setidaknya sejak abad kedelapan.

Pohon kemenyan yang dibudidayakan secara berkelanjutan di dalam hutan bisa dipanen getahnya secara terus menerus selama 60 tahun. Getah itu telah menjadi sumber pendapatan bagi penduduk lokal.

Bagi masyarakat adat Batak, kemenyan memiliki makna yang mendalam dan sangat penting bagi kehidupan mereka. Selain berfungsi secara ekonomi, getah kemenyan juga memiliki makna sosiologi dan ekologis.

Petani kemenyan di sana menganggap kemenyan adalah wujud dari perempuan yang memberikan kehidupan kepada generasi masa lalu, masa kini, dan masa depan.

"Sebagai wujud dari perempuan, kemenyan menjadi tanaman yang sakral dan kita tahu secara ilmiahnya ini memang tanaman endemik yang tumbuh di Tanah Batak, tapi sejak kehadiran perusahaan itu (kemenyan) dihancurkan," kata Delima.

Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan itu telah merambah hutan di Sumatera Utara yang selama ini dikelola secara tradisional oleh masyarakat adat. Perusahaan membuka hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati menjadi hutan tanaman industri.

Kehadiran perusahaan memunculkan berbagai persoalan di tengah masyarakat, seperti sungai-sungai yang mengering saat musim kemarau dan banjir bandang saat musim hujan.

KSPPM mendata sejak 10 tahun terakhir ada sekitar 12 bencana ekologis yang terjadi di Tanah Batak mulai dari banjir bandang hingga longsor. Bencana ekologis itu menimbulkan korban jiwa dan korban materi.

Jalan panjang perjuangan

Pada 16 Juni 2013, satu dekade lalu, Mahkamah Konstitusi telah membacakan keputusan dari judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara.

Putusan itu menjadi peluang bagi masyarakat adat Indonesia untuk mengklaim pengelolaan sah atas wilayah hutan adat.
Delima Silalahi (tengah) peraih penghargaan internasional Anugerah Lingkungan Goldman 2023 bersama kelompok masyarakat adat. (ANTARA/HO-Edward Tigor)

Delima menuturkan putusan itu sekaligus menegaskan bahwa perjuangan KSPPM dan masyarakat adat yang didorong rasa prihatin terhadap perampasan wilayah adat secara besar-besar untuk dijadikan hutan tanaman industri oleh perusahaan pulp dan kertas bukan tindakan yang melawan konstitusi.

Dia semakin termotivasi mengorganisir penduduk lokal untuk mengklaim hutan adat secara legal.

Pada Juni 2021, Delima dan anggota masyarakat bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk mendesak pengakuan terhadap hutan adat milik masyarakat.

Berselang tujuh bulan kemudian, tepatnya pada Februari 2022, pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat adat (termasuk 6.333 hektare lahan yang diklaim kembali dari Toba Pulp Lestari dan 884 hektare dari kawasan hutan negara).

Saat ini, enam kelompok masyarakat adat itu perlahan mulai menanami lahan dengan spesies pohon asli, termasuk kemenyan. Kegiatan reboisasi itu bertujuan untuk meningkatkan tutupan pohon dan ketahanan iklim alami karena mereka meyakini kemenyan hanya bisa tumbuh dan bergetah bila pohonnya dilindungi oleh tanaman-tanaman pelindung lainnya yang berjumlah belasan batang.

Melalui kemenyan itulah upaya pemulihan tradisi dan budaya masyarakat adat agar bisa kembali meramu hutan.

Terdapat pembagian peran yang jelas antara perempuan dan laki-laki dalam komunitas masyarakat adat yang sudah tertata sejak dulu.

Laki-laki ranah pekerjaan mereka di hutan, salah satunya mengumpulkan getah kemenyan. Sedangkan, perempuan bekerja di desa untuk mengelola ladang, sawah, ternak, dan rumah tangga.

Namun, sejak pohon-pohon kemenyan yang tumbuh di hutan tropis hancur, laki-laki kehilangan ruang hidup, pekerjaan, dan profesi. Kondisi itu mengganggu harmoni antara keluarga dan kualitas hidup mereka, sehingga banyak laki-laki yang takut pulang ke rumah karena mereka tak punya pekerjaan lagi.

Keberhasilan Delima bersama kelompok masyarakat adat dalam mendapatkan hak pengelolaan 7.213 hektare hutan secara sah menjadi kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak masyarakat adat.

Penghargaan internasional

Kegigihan Delima dalam mengadvokasi dan memperjuangkan hak masyarakat adat di Tanah Batak membuatnya meraih penghargaan dari The Goldman Environmental Prize.

Anugerah Goldman yang dimulai sejak tahun 1989, merupakan penghargaan bergengsi kepada para aktivis lingkungan di tingkat akar rumput.

Para pemenang anugerah dipilih oleh juri internasional dari beberapa nominasi yang diajukan secara rahasia oleh jaringan internasional yang terdiri atas organisasi dan individu yang bergerak di bidang lingkungan.

Anugerah Goldman dirayakan dalam seremoni langsung yang diselenggarakan di Opera House, San Fransico, Amerika Serikat, pada 24 April 2023, pukul 05.30 PM EDT atau 25 April 2023, pukul 07.30 WIB.

Kemudian, seremoni kedua akan digelar di Eisenhower Theater yang berlokasi di John F. Kennedy Center for the Performing Art, Washington DC, Amerika Serikat, pada 26 April 2023, pukul 07.00 PM EDT.

Delima mengatakan penghargaan itu menjadi sebuah apresiasi yang luar biasa dari dunia internasional yang menghargai kerja-kerja di tingkat tapak masyarakat adat.

Dia sangat menyadari bahwa ini bukanlah penghargaan untuk dirinya secara pribadi. Ini adalah penghargaan untuk gerakan masyarakat adat di Tanah Batak dan Indonesia secara umum.
Delima Silalahi (kanan) peraih penghargaan internasional Anugerah Lingkungan Goldman 2023 bersama petani kemenyan. (ANTARA/HO-Edward Tigor)

Sebagai aktivis lingkungan yang telah berjuang selama 24 tahun, dia mengaku tidak pernah ada dalam bayangan untuk menjadi pahlawan atau untuk mendapatkan penghargaan. Prinsip small is beauty dari KSPPM selalu tertanam di dalam benaknya.

Delima berpesan kepada para aktivis lingkungan untuk selalu semangat dalam berjuang meski berbagai intimidasi acapkali muncul. Kegiatan advokasi dan kampanye terkait perlindungan hutan bukan perjuangan yang melawan hukum, sehingga tidak perlu takut dengan ancaman-ancaman yang datang.

Dia berharap semakin banyak orang terlibat dalam gerakan lingkungan dan gerakan masyarakat adat di Indonesia dan juga negara-negara di seluruh dunia.

Apalagi kini umat manusia menghadapi besarnya tantangan perubahan iklim membuat aktivitas melindungi hutan menjadi sangat penting bagi planet bumi.

Kegiatan merawat, mengelola, dan memperjuangkan keberadaan hutan merupakan salah satu cara untuk memitigasi perubahan iklim yang kini dampaknya semakin nyata, mulai dari pemanasan global, kemunculan berbagai penyakit, hingga cuaca ekstrem.

Salam lestari!

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023