Yang terpenting memutus mata rantai “niat” dan “kesempatan”, faktor utama orang bertindak manipulatif atau korupsi.
Jakarta (ANTARA) - Kasus penganiayaan oleh anak pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, ibarat membuka kotak pandora, menghebohkan, dan menjadi pusat perhatian masyarakat. Kasus ini berkembang ke mana-mana. Ibarat bola liar, tidak lagi sekadar kasus penganiayaan, tapi melebar sampai pengusutan pencucian uang senilai Rp349 triliun.
Di ujung semua berita yang bombastis ini, ada inspektur jenderal (irjen) yang kemudian sibuk menegur orang-orang yang berperilaku hidup mewah, kemudian juga bekerja melakukan investigasi apakah para ASN ini wajar dalam mendapatkan kekayaannya dengan gaji dan fasilitas yang diberikan negara. Irjen mendadak harus merapikan semua hal yang menjadi sorotan masyarakat.
Para politikus, pejabat, dan masyarakat biasa terkesan tidak menganggap irjen dan itjen sebagai pihak yang paling terdepan dalam mengawal integritas dan pencapaian tujuan kinerja pemerintah. Irjen lebih mirip pemadam kebakaran, kalau sudah ada masalah, dan semua orang sudah tahu, maka irjen diminta untuk memadamkan api atau menjadi tukang bersih-bersih dari semua kasus yang menguak ke tengah masyarakat.
Apa benar irjen berfungsi sebatas menjadi pemadam kebakaran di instansi pemerintah?
Sedikit saya akan menceritakan pengalaman sebagai seorang Irjen periode 2010– 2014 di Kementerian Luar Negeri. Saya selalu menilai irjen bukanlah sebagai pemadam kebakaran, bukan pihak yang bergerak untuk mencari kesalahan orang. Irjen justru untuk memenuhi tuntutan organisasi dan pemangku kepentingan. Fungsi inspektorat jenderal tidak lagi hanya sebagai pengawas, namun juga sebagai mitra, konsultan, dan quality assurance. Perbedaan konsepsi ini akan melahirkan dampak yang besar terhadap pencapaian target pencegahan korupsi yang selalu didengungkan-dengungkan oleh Pemerintah.
Untuk memerankan inspektorat jenderal (itjen) sebagai mitra, konsultan dan quality assurance, hal pertama yang harus dilakukan adalah mendorong dilaksanakannya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) karena sistem ini merupakan garda terdepan dalam upaya mewujudkan good governance dan clean governance. Dengan adanya sistem pengendalian intern, fungsi pengawasan dan pengendalian tidak hanya bertumpu pada aparat pengawas semata, melainkan juga menjadi tugas dan tanggung jawab pimpinan dan seluruh unsur pada satuan kerja (satker).
Dengan semakin meningkatnya pelaksanaan SPIP, akan memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan kegiatan pemerintah, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Memang harus diakui bahwa terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan SPIP di lingkungan setiap kementerian, yang tercatat adalah komitmen unsur pimpinan di satker dalam pelaksanaan SPIP relatif belum memadai dalam menjalankan perannya.
Dalam keadaan inilah peran itjen sebagai mitra, konsultan dan quality assurance sangat diperlukan untuk tanpa henti mengingatkan dan mengkoordinasikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh satker guna menciptakan pengawasan partisipatif yang melibatkan peran serta pimpinan dan staf setiap satker, yang akan berfungsi sebagai Unit Pengawas Intern dan dilaksanakan oleh setiap lini satker.
Dengan demikian, aktivitas pemantauan dan pengendalian yang menyeluruh akan tercipta di setiap unit Satuan Kerja, karena adanya komitmen, kontinuitas dan kepatuhan di setiap peraturan yang ada.
Itjen tidak hanya terbatas pada pelaksanaan SPIP saja, tetapi juga dalam bentuk early warning system dalam bentuk peran aktif memberikan masukan-masukan kepada satker mengenai berbagai hal yang berpotensi memiliki risiko penyelewengan dalam pelaksanaan program kerja maupun kebijakan. Dengan demikian, peran aktif itjen dapat berkontribusi positif untuk menghindari tindakan-tindakan anomali yang dapat merugikan Satuan Kerja.
Disamping itu, perlu juga kiranya disampaikan bahwa itjen mengintensifkan pendampingan terhadap berbagai kegiatan satker, terutama yang menggunakan anggaran dalam jumlah besar dan berpotensi terjadinya penyelewengan. Dalam kegiatan pendampingan ini, pihak itjen dapat memberikan evaluasi apakah pimpinan dan staf satker telah melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam penggunaan keuangan, barang milik negara, serta dalam pelaksanaan lelang berbagai pekerjaan.
Yang terpenting dalam hal ini, memutus mata rantai “niat” dan “kesempatan” yang merupakan faktor utama untuk setiap orang melakukan tindakan manipulatif atau korupsi.
Selanjutnya, itjen harus proaktif untuk menindak-lanjuti seluruh pengaduan masyarakat mengenai adanya pelanggaran (disiplin, etika atau perilaku, kinerja, pengelolaan keuangan dan barang milik negara) yang dilakukan oleh ASN di setiap satker.
Penanganan pengaduan masyarakat ini dilakukan melalui permintaan klarifikasi atau pemeriksaan para pihak yang terkait, penelitian dokumen atau bukti pendukung, dan selanjutnya melaporkan hasilnya kepada pimpinan dengan suatu kesimpulan yang benar, serta rekomendasi penyelesaian masalah. Penanganan yang dilakukan juga harus diinformasikan kepada pelapor, sehingga pelapor mengetahui bahwa itjen tidak melakukan pembiaran atas laporan yang disampaikan oleh masyarakat.
Dengan pendekatan pelaksanaan itjen sebagai mitra, konsultan, dan quality assurance tersebut, diyakini akan meningkatkan kesadaran perlunya pribadi berintegritas untuk terhindar dari perbuatan manipulatif dan korupsi.
Untuk jelasnya, yang dimaksud dengan integritas tersebut, yaitu seorang ASN yang mampu melaksanakan tugas secara konsisten dalam perkataan dan perbuatan, berperilaku terpuji, disiplin, mematuhi setiap peraturan yang ada, dan penuh dedikasi berdasarkan pada norma dan etika.
Apakah dengan mendorong itjen pro-aktif sebagai mitra, konsultan dan quality assurance tindakan manipulatif dan korupsi akan hilang dari Indonesia? Akankah konsep pencegahan korupsi terwujud? Akankah good and clean governance terealisasi?
Menjawab pertanyaan di atas, berdasarkan pengalaman saya, konsep ini dapat mencegah tindakan manipulatif dan korupsi di tingkat kementerian. Korupsi bisa ditekan seminim mungkin. Namun, kalau dituntut untuk menghapus secara totalitas, maka upaya menghapuskan korupsi di Indonesia tidak akan cukup menjadi tugas irjen, tetapi menjadi tugas setiap pemangku kepentingan yang ada di Republik ini.
Kalau saja sedari awal irjen benar-benar menjalankan konsep sebagai quality assurance, bukan sebagai pemadam kebakaran, saya yakin hampir separuh dari persoalan-persoalan yang timbul bisa dicegah sebelum membengkak menjadi kanker yang besar.
Yang menjadi tontonan masyarakat adalah perilaku hidup mewah yang sebenarnya sangat tidak patut sebagai ASN, yang dibiarkan dan kemudian tidak dilakukan pembinaan, terjadi pembengkakan biaya proyek strategis karena dilakukan tanpa pendampingan, pemborosan penggunaan anggaran kegiatan yang tidak memiliki orientasi kinerja yang berdampak kepada masyarakat, dan sebagainya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (PKK) tentu saja memiliki keterbatasan dalam mengendalikan seluruh perilaku ASN dan lembaga pemerintahan. Agar fungsi pencegahan dan konsep pencegahan korupsi dapat dijalankan secara masif, maka konsep Irjen sebagai pemadam kebakaran dan tukang mencari-cari kesalahan dan menghukum, mau tidak mau harus diganti. Irjen adalah quality assurance.
Tanpa perubahan konsep, saya memandang para pemimpin politik kita tidak memiliki keseriusan dan rencana kerja yang strategis dalam menerapkan kebijakan pencegahan korupsi. Semua adalah business as usual. Perwujudan cita-cita negara adil dan makmur, tidak akan semakin dekat untuk dicapai.
Sugeng Rahardjo adalah Irjen di Kementerian Luar Negeri 2010–2014
Copyright © ANTARA 2023