Joko Waluyo (50), sopir taksi, tak bisa menggerakkan mobilnya. Seorang pengendara motor mendekati mobilnya, lalu menghardik, "Hey, maju!" Joko membuka jendela mobilnya, balik mengumpat, "Pakai otak dong! Maju kemana? Ini kan macet!"
Bukan sekali itu Joko berbalas hardikan. Dia kesal oleh egoisme orang Jakarta di jalanan, selain juga karena stres akibat macet setiap hari.
Tapi berbalas umpat dan saling serobot di jalanan memang sudah menjadi kebiasaan kebanyakan orang Jakarta.
Jalan yang kian sempit oleh membludaknya kendaraan sehingga sering macet tanpa jelas penyebabnya, adalah gara-garanya.
Bayangkan, mengutip Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), untuk tahun 2009 saja, di Jakarta ada 6,5 juta kendaraan yang 98,6 persen diantaranya kendaraan pribadi dan sisanya 1,4 persen transportasi publik.
Parahnya, yang 98,6 persen ini hanya melayani 44 persen tujuan perjalanan, sebaliknya yang 2 persen melayani 56 persen. Andai komposisi ini dibalik, Jakarta mungkin tak akan sesumpek sekarang.
ITDP juga mencatat, pertumbuhan kendaraan di Jakarta rata-rata per tahun 11 persen, padahal panjang jalan hanya bertambah 1 persen setiap tahun.
Tak heran, jalan-jalan kian memadat. Macet pun terjadi tak kenal waktu.
Saking tingginya stadium kemacetan Jakarta, enam tahun lalu, Sutiyoso yang waktu itu Gubernur DKI Jakarta, berpostulat bahwa lalu lintas Jakarta macet total pada 2014. Bahkan ada yang bilang itu sudah terjadi sebelum 2014.
Ironisnya, nyaris tak ada instrumen kebijakan yang efektif mengeremnya. Inisiatif-inisiatif radikal seperti menaikkan tarif parkir pun menguap entah kemana. Padahal tarif parkir yang tinggi adalah satu cara untuk mengekang orang tak sembarangan mengeluarkan kendaraannya.
Belum lagi begitu gampangnya mendapatkan kendaraan bermotor, ditambah begitu mudahnya situs-situs niaga dibangun tanpa mempertimbangkan potensi berkerumunnya orang dan mobil. Akhirnya, macet dimana-mana.
Waktu pun terbuang sia-sia, sementara konsumsi BBM meninggi sehingga mempercepat Indonesia menjadi negara importir minyak. Dalam soal ini, Yayasan Pelangi mencatat, kemacetan di Jakarta telah membuat Rp8,3 triliun terbuang percuma setiap tahun.
Kemacetan juga membuat udara Jakarta menjadi kian buruk, bahkan Jakarta menjadi kota ketiga di dunia yang polusinya terburuk setelah Mexico City dan Bangkok.
Kemacetan juga memperlambat pergerakan barang dan jasa sehingga beban produksi naik, lalu menekan daya saing bisnis. Tak itu saja, penyakit stres makin akut. Joko si pengemudi taksi contohnya.
Intinya, kemacetan membuat rugi segalanya. Wajar jika kemudian banyak yang menginginkan masalah ini segera diatasi, dan pembenahan sistem transportasi massal pun, termasuk MRT, dianggap solusi utamanya.
"Memang mahal tapi multiplier effect-nya sangat tinggi," kata anggota Komisi V DPR RI Roem Kono, menunjuk manfaat MRT.
Menurutnya, MRT akan menaikkan produktivitas kerja, menghemat waktu dan subsidi BBM karena orang beralih ke angkutan umum. "Komisi V DPR RI mendukung penuh pembangunan MRT. Itu bagian yang vital bagi negeri ini," kata Roem.
Radikal
Pemprov DKI Jakarta sendiri makin serius menggarap MRT, namun berani belum melangkah lebih jauh.
"Nanti kalau dilihat dari segi bisnis, dan manfaatnya baik, detik itu juga langsung dilaksanakan," kata Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang biasa disapa Jokowi.
Jokowi juga menilai pemerintah pusat mesti diajak mengerjakan proyek ini.
"Saya paham betul bahwa persoalan MRT ini, terutama yang ada kaitannya dengan besaran permintaan atas beban utang yang saya ajukan sulit untuk disetujui. Oleh karena itu, saya ingin duduk bareng pemerintah pusat untuk membahas masalah ini," kata Jokowi.
Jokowi merasa beban pengembalian utang untuk pembiayaan MRT yang sementara ini ditetapkan 42 persen ditanggung pemerintah pusat dan 58 persen ditanggung Pemprov DKI Jakarta, harus diubah komposisinya menjadi 70 persen pemerintah pusat dan 30 persen Pemprov DKI.
Ini demi membuat Pemprov DKI bisa memberi subsidi tiket kepada penumpang sehingga tarif MRT ditekan serendah mungkin.
Dukungan untuk MRT sendiri terus mengalir, bahkan dari Singapura.
"Kalau ada interest dari Jakarta, Singapura akan membantu," kata Duta Besar Singapura Anil Kumar Nayar di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dekade lalu, Singapura menginvestasikan 7,5 miliar dolar Singapura (Rp59,25 triliun) untuk transportasi publik dengan Rp41,08 triliun diantaranya untuk MRT, kereta api dan transportasi publik, sementara Rp18,17 triliun sisanya untuk membangun jalan.
Singapura pun sukses mengajak warganya meninggalkan kendaraan pribadi sehingga jalan-jalan menjadi tidak sumpek dan warga bisa pulang pergi dengan hati bahagia dan segar, tidak dongkol akibat dikepung macet.
Jokowi sendiri terlihat lebih menseriusi soal MRT ini.
Apakah terobosan Jokowi dalam membenahi Jakarta itu berhasil atau akan tersandung oleh pertimbangan sesaat dan lobi laten tapi canggih dari pihak-pihak yang dirugikan oleh beralihnya orang ke angkutan umum massal?
Apapun jawabannya, Jakarta tak bisa lagi ditangani dengan cara biasa. "Kalau kita tidak punya sebuah kebijakan yang radikal, ya tidak akan selesai-selesai," tegas Jokowi. (*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012