Jakarta (ANTARA) - Azizah melangkah pelan menyusuri jalan artifisial selebar 6 meter di hadapannya sambil tetap sesekali memperhatikan langkah dan keramaian di sekelilingnya. Bocah 12 tahun itu patut berhati-hati karena di sepanjang jalan itu, bukan hanya sekumpulan anak manusia yang melintas, melainkan ada juga taksi sedan, bus satu pintu, dan terkadang sebuah truk pemadam kebakaran.
Kedua bola mata Azizah melintasi sudut demi sudut kota, bergerak cepat, dan berlompatan ke sana ke mari, meski tak jarang ia tenggelam cukup lama dalam sebuah pemandangan yang membuatnya terlihat seolah sedang tercenung tanpa makna.
Tapi tidak. Ia justru tengah mencerap dengan sepenuh hati serangkaian fasad bangunan-bangunan yang kukuh melingkupinya.
"Bagus, banget! Baru tahu ada tempat seperti ini,” katanya tanpa melepaskan senyum.
Azizah begitu terpesona dengan miniatur kota buatan dengan segala hiruk pikuk yang menaunginya. Di sebuah sudut, ia amat menikmati kegiatan sekumpulan anak yang tengah melatih keterampilan berbicara layaknya seorang penyiar radio. Dirinya juga tak mengendurkan pandangan kala menyaksikan beberapa anak mendengarkan instruksi seorang pengajar di sebuah pusat kebugaran kemudian bergerak serentak penuh semangat mengikuti irama lagu.
Sementara di sisi yang lain, Azizah juga tertarik menyaksikan sejumlah anak duduk berkumpul mengelilingi meja berbentuk huruf U, tengah berkonsentrasi super serius mengaduk adonan dalam sebuah bejana. Azizah meyakini betul bahwa racikan setengah padat berwarna putih pucat itu akan diolah menjadi potongan-potongan roti.
Ia bahkan tak segan melemparkan tawa keras ke udara sembari sesekali membetulkan posisi kerudungnya, saat mendengar raungan ribut sirene sebuah truk pemadam kebakaran dari kejauhan yang kemudian melintas perlahan di depan ia dan sahabat terbaiknya, Ayu, 14 tahun.Ayu dan Azizah mengulum senyum kala menyaksikan polah tujuh personel pemadam kebakaran berseragam lengkap bernuansa kuning yang amat terampil melompat dari atas bus, menyerap instruksi khusus dari atasan mereka, dan sejurus kemudian sibuk meraih selang untuk mengarahkan air nan deras.
Ketujuh personel pemadam kebakaran tersebut terlihat heroik dan sungguh gagah saat mengemban tugas yang telah diamanatkan dengan berupaya sekuat tenaga menyelamatkan sebuah bangunan bertingkat tiga dari amukan si jago merah.
Tak seorang pun dari mereka menampakkan air muka ciut menghadapi kobaran api artifisial angkuh yang menjilat nyaris seluruh permukaan bangunan, meski tinggi badan para petugas tersebut hanya terpaut beberapa puluh sentimeter dari pompa air yang menjadi senjata mereka.
Saat dalam keadaan genting tersebut, salah seorang petugas pemadam kebakaran sepertinya terlihat gamang karena berada di persimpangan batin untuk mengambil sikap: antara mencermati sisi-sisi bangunan terbakar yang wajib ia taklukkan atau menorehkan senyum paling manis ke arah kamera --yang menurutnya tak kalah penting. Ia pun mengambil pilihan yang kedua.
"Adik, coba lihat ke arah Mama. Sini, Sayang!" kata seorang perempuan paruh baya mengarahkan ponsel pintar ke arah si petugas pemadam kebakaran yang sempat masygul.
Perempuan itu sempat beberapa kali menyentuhkan jari telunjuknya ke bagian tengah layar dan mengarahkan ponsel ke si petugas penjinak api--yang tentu saja adalah anak yang paling ia cintai dan banggakan, dengan mengganti sudut pengambilan dari berbagai sisi.
"Oke. Lanjut, Sayang!" seru sang perempuan layaknya mantra sihir yang kemudian menyadarkan kembali si petugas pemadam kebakaran akan hal ihwal tugas utamanya saat itu: menjinakkan kobaran api.
Ketika api telah berhasil dijinakkan, ketujuh petugas pemadam kebakaran tersebut sama sekali tak terlena lantas menurunkan semangat untuk melakukan tugas berikutnya. Mereka tetap menjaga asa, kembali melompat cepat ke atas bus pemadam kebakaran, dan sibuk mengatur posisi berimpitan agak tak saling menjatuhkan. Sedetik kemudian, kendaraan tersebut kembali meraung-raung dengan sirene yang membuat semua orang di sekitarnya menoleh lalu melepaskan senyum.
Saat bus tersebut telah menjauh, Ayu sontak tersadar, memalingkan wajah ke sekeliling, lantas meraih tangan Azizah. Keduanya kemudian bergerak ke arah sebuah bangunan yang mereka yakini betul adalah sebuah rumah sakit model konsep.
"Kami mau main 'operasi-operasian', mau jadi dokter," kata Ayu sambil mengintip ke dalam sebuah ruangan bernuansa kuning gading yang dipenuhi peralatan medis di setiap sudut dan beberapa tempat tidur, lengkap dengan boneka-boneka yang terlentang dan selalu siap untuk menjalani pemeriksaan kesehatan karena telah ditakdirkan menjadi pasien.
"Saya senang sekali bisa belajar sambil main di sini. Seru, bisa jadi apa saja kayak dokter, polisi, pembuat kue, pemadam kebakaran, dan banyak lagi," terang Ayu yang memiliki cita-cita menjadi seorang pramugari maskapai penerbangan.
Senada dengan Ayu, Azizah yang berketetapan ingin menjadi seorang dokter kelak, juga merasa gembira ketika mendapati ada wahana bermain sambil belajar dengan konsep yang unik dan menyenangkan, tak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka selama ini.
Berani bermimpi
Azizah, Ayu, dan seratusan lebih anak berusia 4 hingga 12 tahun saat itu tengah tenggelam menikmati keseruan aktivitas yang tergolong baru bagi mereka di wahana bermain edukatif Kidzania di lantai enam Pacific Place, Kawasan Niaga Sudirman Jakarta, Minggu (16/4).
Tak hanya mereka. Pada waktu yang bersamaan, sebanyak seratusan anak lainnya juga merasakan pengalaman menyenangkan serupa pada wahana edukatif yang sama di wilayah Kota Surabaya, Jawa Timur.
Sebanyak dua ratusan anak itu menjadi amat istimewa karena mereka berasal dari kelompok Kampung Pemulung Jurang Mangu Tangerang Selatan, Saung Baca Gabungan Remaja Peduli (GARPU) Jakarta, Komunitas Lentera Kota Surabaya, serta Taman Baca Pesisir Surabaya.
Anak-anak tersebut sengaja diundang agar mereka bisa melihat dan mengenal ragam profesi yang dapat mereka raih lewat impian cita-cita pada masa mendatang dalam bingkai wahana permainan nan mendidik. Tidak hanya itu, sebanyak belasan perwakilan anak-anak tersebut juga diajak berpartisipasi dalam bermain seni peran kabaret di hadapan rekan-rekan mereka sendiri."Kami sudah melakukan kegiatan ini setiap Ramadhan dari tahun ke tahun sejak 2017. Kami memilih yayasan-yayasan ini karena memang didominasi oleh anak-anak dari keluarga kurang mampu," kata Brand Representative SoKlin Softergent Rana Gita Widawati dalam rangkaian acara bertemakan "Berani dan Wujudkan Mimpi bersama SoKlin".
Menurut Rana, banyak anak dari kaum marginal tersebut hanya memiliki pengetahuan terbatas mengenai cita-cita yang sesungguhnya amat luas. Mungkin selama ini, kata Rana, mereka hanya tahu kegiatan mencari nafkah sebatas menjadi pengemis atau pemulung karena hal itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian mereka.
"Karena itu, kami ajak mereka bermain untuk menginspirasi bahwa profesi itu sangat banyak dan bisa menjadi pilihan di masa depan yang lebih baik untuk mereka," terangnya.
Rana mengungkapkan lewat aksi sosial tersebut pihaknya berharap agar anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap memupuk segala harapan besar dan berani untuk mewujudkan segala impian mereka.
"Sesuai visi kami yaitu 'all the good things in life should be accessible for everyone', maka kami berharap anak-anak ini punya harapan terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa mencapai mimpi-mimpi mereka," kata Rana.
Berjuang
Koordinator Kampung Pemulung Jurang Mangu Tangerang Selatan, Acang, mengapresiasi program yang merangkul anak-anak di wilayahnya untuk berani dan mewujudkan impian. Menurutnya, banyak anak-anak dari wilayahnya bisa dikatakan sama sekali tidak memiliki akses untuk bermain di wahana edukatif yang menampilkan aktivitas ragam profesi bagi anak-anak.
"Kami berbahagia sekali dengan kegiatan ini, sebab, kapan lagi anak-anak ini bisa bermain sampai ke sini?” jelasnya.
Lebih lanjut Acang mengatakan bahwa kegiatan tersebut memiliki dampak positif untuk ikut membantu membuka cakrawala anak-anak pemulung yang ada di wilayahnya.
Kampung Pemulung Jurang Mangu Pondok Aren memiliki 14 kelompok dengan masing-masing kelompok berjumlah 5 sampai 10 kepala keluarga. Selama ini, kata Acang, beberapa anak-anak di kampung tersebut masih bisa bersekolah meski tidak sedikit pula yang kurang beruntung sehingga terpaksa tak melanjutkan pendidikan dasar.
"Saya mengumpulkan anak-anak agar mereka mengikuti kegiatan belajar, mengaji, shalat, menggambar, serta melukis yang diadakan setiap pekan. Kami menyediakan mushala untuk kegiatan belajar anak-anak remaja hingga usia SMA, serta lokasi-lokasi lain dari para relawan untuk anak-anak yang lebih kecil," ungkap Acang yang sehari-hari memulung barang-barang bekas untuk dikumpulkan dan dijual kembali setiap dua pekan.
Para relawan yang dimaksud Acang adalah anak-anak muda dari berbagai elemen Pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat yang terus berjuang membantu perbaikan kualitas pendidikan anak-anak di Kampung Pemulung sejak tahun 2008.
Meski sempat terhenti selama 3 tahun akibat pandemi COVID-19, kegiatan belajar-mengajar di Kampung Pemulung kini kembali menggeliat dengan jadwal rutin yang telah ditetapkan bersama.
"Dulu kegiatan belajar mengajar dari hari Selasa sampai Sabtu pada sore hari. Sedangkan hari Minggu kegiatan dimulai dari pukul 8 pagi sampai 12 siang. Karena ada corona, kegiatan terhenti. Sekarang sudah dimulai lagi selama sepekan sekali," terangnya.
Acang merasa bersyukur para relawan masih tetap hadir di wilayahnya dan mau merangkul tak hanya anak-anak tetapi juga orang tua untuk sama-sama berupaya mengentaskan kualitas hidup dan pendidikan ke arah yang lebih baik.
"Dulu mungkin pendekatan relawan hanya kepada anak-anak karena beberapa orang tua masih bersikap masa bodoh terhadap nasib anak-anaknya. Sekarang, sama sekali berbeda dan jauh lebih baik karena para relawan juga memberi bimbingan dan pendampingan kepada orang tua. Sehingga baik anak-anak maupun orang tua juga mendapatkan ilmu," paparnya.
Dukungan terhadap orang tua tersebut, lanjut Acang, turut mempengaruhi seberapa besar kemungkinan anak-anak dari Kampung Pemulung dapat menggapai impian mereka yang tinggi nan mulia.
"Mereka ada yang mau menjadi dokter, guru, polisi, ustaz, dan macam-macam. Kalau dari orang tuanya mendorong, tentu semua bisa tercapai. Alhamdulillah sekarang kakak-kakak relawan juga membantu perubahan ke arah lebih baik," katanya mengakhiri.
Impian masa depan
Aji (11)duduk menatap sebuah layar datar di hadapannya, mencermati satu demi satu tugas yang harus ditunaikannya sebagai abdi masyarakat. Di sebelahnya ada Mustafa (12) yang tak kalah bersemangat untuk segera mengemban peran selama menekuni profesi di miniatur kota Kidzania.
"Seru dan senang sekali bermain di sini," kata Aji yang diikuti anggukan Mustafa.
Keduanya memang seperti ditakdirkan untuk memiliki kesamaan dalam berbagai hal. Ketika Aji memutuskan untuk memiliki surat izin mengemudi (SIM) di Kidzania, maka hal tersebut diikuti pula oleh Mustafa.
Pun sebaliknya, ketika Mustafa sangat menggebu-gebu untuk menjajal profesi sebagai anggota pemadam kebakaran, di saat itu pula Aji sigap berada di sisinya.
Tak hanya memainkan peran sebagai petugas penakluk si jago merah, Aji juga ingin mencari tahu segala hal dalam dunia mekanik dan balap mobil di dunia mini yang baru saja ia kenali tersebut. Jelas, Mustafa juga tak akan ketinggalan.
Ketika mendapatkan pertanyaan mengenai apa cita-cita yang ia impikan di masa mendatang, Aji menjawab dengan tegas dan mantap, "Mau jadi ustaz!"
Tanpa menunggu lama, Mustafa langsung mengangguk cepat dan melontarkan kalimat pendek, "Sama, mau jadi ustaz."
Kini, anak-anak kampung tersebut bisa jelas menyebut cita-citanya kelak. Apa pun profesi itu.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023