Jadi, ada inefisiensi 80 persen atau setara Rp320 triliun dalam APBN kita,"
Semarang (ANTARA News) - Duta Universitas Indonesia untuk Reformasi Birokrasi, Doktor Dewi Aryani, mengungkapkan telah terjadi inefisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, khusus pada pos belanja pegawai sekitar Rp320 triliun.
Dewi yang juga anggota Komisi VII (Bidang Energi) DPR RI mengemukakan hal itu kepada ANTARA di Semarang, Rabu, usai tampil sebagai narasumber pada dialog bertajuk "Solusi Tepat Subsidi BBM" di Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat.
"Jadi, ada inefisiensi 80 persen atau setara Rp320 triliun dalam APBN kita," kata Dewi merespons pernyataan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PAN-RB) Eko Prasojo bahwa hanya 20 persen aparat birokrasi yang bekerja.
Dewi juga menyoroti pemborosan pada pos belanja modal. "Jika kita anggap inefisiensi belanja modal sebesar 15 persen saja (bisa saja lebih), itu setara dengan penghematan APBN kita sebesar kira-kira Rp150 triliun," kata wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX (Brebes, Kota/Kabupaten Tegal) itu.
Dari sisi penerimaan, lanjut Dewi, hanya 32,7 persen wajib pajak (WP) badan dan 54,7 persen WP perorangan yang taat membayar pajak. Jika rasio pajak bisa ditingkatkan pada angka 15 persen saja, APBN akan mendapat penerimaan sekitar Rp1.400 triliun dari pajak.
"Kemudian, jika ditambah penerimaan nonpajak, penerimaan dalam APBN akan menjadi Rp1.800 triliun. Negara jelas tidak akan mengalami defisit," katanya menandaskan.
Yang menjadi masalah, menurut Dewi, Pemerintah lebih senang "business as usual" (bisnis seperti biasa). Tidak mau berupaya lebih rasional dan terukur. Reformasi birokrasi juga berjalan lamban. Bahkan, data pada tahun 2011 ada sisa anggaran lebih hampir Rp100 triliun.
Pemerintah, lanjut Dewi, harusnya menempatkan sektor energi sebagai "leading sector" (sektor utama) yang menjadi pijakan penentu, sektor paling strategis untuk mengarahkan berbagai kebijakan yang lainnya, di antaranya transportasi dan industri.
Salah satu contoh yang tidak dilakukan serius pemerintah adalah pengembangan dan produksi massal "Green Vehicle".
"Ini bisa menekan laju penjualan kendaraan berbasis bahan bakar minyak. Pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor hanya akan menguntungkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan produsen saja," ujarnya.
Di lain pihak, dia mengatakan bahwa pembenahan fasilitas transportasi umum yang manusiawi juga berjalan lamban. Kedua hal mendasar itu mengakibatkan masyarakat tidak punya alternatif dalam berkendaraan. Dan, ujung-ujungnya Pemerintah menyalahkan rakyat boros.
Dewi yang juga Ketua Pengurus Harian Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama itu lantas mempertanyakan, "Dengan berbagai fakta tersebut, lalu pertanyaannya pencabutan subsidi untuk siapa?"
(D007/R010)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012